Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA

Wakil Ketua PW Muhammadiyah Kalbar

 

Setiap tahun, umat Islam di berbagai belahan dunia menghadapi kenyataan yang ironis: berbeda hari dalam merayakan Idul Fitri, berpuasa Arafah pada tanggal yang tidak sama, atau berselisih pendapat mengenai awal Ramadan. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi gejala dari ketidakterpaduan umat dalam menentukan sistem waktu ibadah yang mestinya bersifat universal. Di tengah keprihatinan ini, Muhammadiyah menawarkan solusi visioner: Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).

KHGT bukan sekadar produk ijtihad keagamaan Muhammadiyah, melainkan agenda integratif dan lintas-disiplin—menggabungkan keabsahan syariat, presisi astronomi, dan kesadaran global umat Islam untuk bersatu dalam waktu. Tulisan ini menguraikan lima alasan utama mengapa KHGT harus digunakan umat Islam secara luas, demi mengakhiri disorientasi waktu yang telah berlangsung berabad-abad.

  1. KHGT Menjawab Kebutuhan Globalisasi Umat Islam

Dalam dunia modern yang saling terhubung secara digital dan mobilitas tinggi, umat Islam tidak lagi hidup dalam sistem lokal tertutup. Seorang Muslim Indonesia bisa mengikuti khutbah Jumat dari Mekkah, atau warga diaspora Muslim di Amerika ingin menyesuaikan hari raya dengan keluarga mereka di Asia.

Sayangnya, dengan sistem penanggalan Hijriah yang masih bergantung pada rukyat lokal (pengamatan bulan sabit di tiap negara), umat Islam mengalami diskoneksi spiritual dan sosial. KHGT hadir untuk mengakhiri kondisi ini dengan menggunakan hisab global—yakni perhitungan astronomis yang menetapkan satu tanggal Hijriah berlaku untuk seluruh dunia.

Dengan pendekatan ini, umat Islam dapat merayakan hari raya secara serentak, menunaikan puasa Arafah pada hari yang sama, dan memiliki sistem kalender yang pasti dan bisa direncanakan jauh-jauh hari, layaknya kalender Masehi.

  1. KHGT Berdasarkan Ilmu Astronomi yang Presisi dan Terverifikasi

KHGT menggunakan pendekatan hisab hakiki, yakni perhitungan astronomis faktual berdasarkan posisi geometris bulan dan matahari. KHGT juga telah menetapkan kriteria yang objektif dan ilmiah, seperti:

  • Tinggi hilal minimal 5 derajat,
  • Elongasi minimal 8 derajat,
  • Berlaku global dengan batas waktu GMT +0 (IDL – International Date Line).

Dengan model ini, hilal tidak perlu terlihat secara mata telanjang (rukyat) karena eksistensinya dapat dibuktikan secara ilmiah. Bukankah kita menerima jadwal salat lima waktu, gerhana, bahkan letusan matahari dengan metode astronomi? Maka, mengapa awal bulan Hijriah masih mengandalkan visual mata manusia yang terbatas dan tidak seragam?

KHGT mengedepankan kepastian dan akurasi, menghindari subjektivitas penglihatan dan kesalahan manusiawi dalam rukyat yang sering kali menimbulkan perdebatan.

  1. KHGT Selaras dengan Nilai-Nilai Syar’i

Sebagian pihak menolak KHGT karena menganggap bahwa melihat hilal adalah tuntunan sunnah Nabi ﷺ. Namun, Muhammadiyah memaknai hadis “sumu li ru’yatihi…” (berpuasalah karena melihat hilal) sebagai petunjuk untuk mengetahui masuknya bulan baru, bukan sebagai metode tunggal dan wajib.

Apabila pada masa Nabi ﷺ satu-satunya cara untuk mengetahui awal bulan adalah dengan melihat hilal, maka pada masa kini ilmu falak modern telah memberi alat yang lebih presisi. Ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah: memudahkan ibadah, menjaga keotentikan waktu, dan menghindari perpecahan.

KHGT justru menjadi bentuk ijtihad jamā‘ī yang sesuai dengan semangat tajdid dan adaptasi syariah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Ia bukan pengganti sunnah, tetapi penegas makna syariah di era ilmu dan teknologi.

  1. KHGT Menjadi Simbol Kesatuan Umat

KHGT bukan hanya proyek ilmiah, melainkan proyek pemersatu umat. Betapa menyedihkan jika umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,8 miliar ini tidak dapat bersatu hanya karena berbeda dalam melihat hilal. Perbedaan Idul Fitri di satu wilayah dengan wilayah lain bukan lagi masalah teknis, tetapi simbol kegagalan kita menyatukan suara dalam persoalan mendasar.

Melalui KHGT, umat Islam menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa bersatu dalam waktu, sebagaimana kita bersatu dalam kiblat. KHGT menjadi simbol bahwa umat Islam memiliki orientasi waktu bersama sebagai umat yang satu (ummatan wāḥidah), sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiya: 92.

  1. KHGT Mendorong Efisiensi dan Kepastian Sosial

Di luar aspek religius, KHGT juga berdampak positif terhadap tatanan sosial dan administratif:

  • Penetapan cuti hari raya nasional yang lebih pasti dan tidak mendadak, sebagaimana sering terjadi di Indonesia;
  • Perencanaan kegiatan keagamaan, ekonomi, dan pendidikan Islam yang dapat diatur secara sinkron;
  • Konsistensi kalender Hijriah internasional dalam perbankan syariah, asuransi, wakaf, dan zakat yang sering menggunakan acuan Hijriah.

KHGT memberikan kejelasan yang tidak bisa diberikan oleh sistem rukyat yang bergantung pada cuaca, lokasi, dan metode visual yang sering kali tidak transparan.

KHGT, Sebuah Jalan Menuju Umat Islam yang Terorganisasi

Kalender adalah identitas peradaban. Bangsa Romawi membentuk kalender Julian, Paus Gregorius membentuk kalender Masehi yang kita pakai hingga hari ini. Kini, sudah saatnya umat Islam memiliki sistem kalender Hijriah yang ilmiah, syar’i, dan global.

KHGT adalah kontribusi Muhammadiyah kepada dunia Islam, dan dunia Islam seharusnya menyambutnya sebagai jalan keluar dari disorientasi waktu yang telah terlalu lama berlangsung. KHGT bukan semata sistem baru, tapi simbol kebangkitan umat Islam yang berpikir maju, terorganisasi, dan berkeadaban.

Mari kita berhenti berselisih soal tanggal Idul Fitri. Sudah waktunya kita bersatu dalam satu kalender, satu umat, dan satu arah peradaban: Kalender Hijriah Global Tunggal.

Referensi:

  • Muhammadiyah. (2025). The Unified Global Hijri Calendar. Yogyakarta: PP Muhammadiyah.
  • Syamsul Anwar. (2024). “Kalender Islam Global dan Matlak Tunggal.” Jurnal Tarjih, 21(1), 1–25.
  • Nidhal Guessoum. (2010). Islamic Science and the Challenge of Modernity: Observations from Astronomy. I.B. Tauris.

 

Categories: Artikel