Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA

Pada tanggal 1 Muharram 1447 H, bertepatan dengan 26 Juni 2025 M, Muhammadiyah secara resmi mulai menerapkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), sebuah langkah monumental yang tidak hanya bersifat administratif-keagamaan, tetapi juga sarat nilai peradaban. Kalender ini lahir dari proses ijtihad dan tajdid panjang, dengan pendekatan astronomi modern (hisab hakiki) dan legitimasi syar’i yang kuat, sebagai jawaban atas persoalan laten umat Islam: perbedaan penentuan awal bulan Hijriah.

Langkah Muhammadiyah ini patut diapresiasi sebagai kontribusi peradaban Islam global, sekaligus tantangan baru bagi integrasi fikih, ilmu pengetahuan, dan diplomasi umat. Artikel ini meninjau prospek KHGT ke depan dalam tiga spektrum: argumentasi syar’i dan saintifik, tantangan sosial-politik, dan potensi transformasi global.


1. KHGT: Antara Tuntutan Syariat dan Kepastian Astronomi

Perdebatan antara rukyat (penglihatan bulan) dan hisab (perhitungan astronomi) dalam penentuan awal bulan Hijriah telah berlangsung berabad-abad. Muhammadiyah sejak awal mengambil posisi epistemologis yang progresif: mengakui validitas hisab hakiki sebagai metode yang qath’i (pasti) dalam memastikan waktu ibadah. KHGT dirancang bukan hanya untuk akurasi teknis, tetapi juga untuk kesatuan simbolik umat.

Dalam konteks syar’i, Muhammadiyah merujuk pada dalil-dalil seperti QS. Al-Baqarah: 189 dan QS. Yunus: 5, yang menegaskan fungsi kalender sebagai sistem pengatur waktu ibadah dan transaksi umat. Hadis Nabi tentang “berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya” ditafsirkan secara kontekstual—bahwa yang dimaksud adalah “kepastian tentang masuknya bulan”, bukan semata visualisasi.

KHGT memadukan prinsip syariah dengan presisi astronomi. Berdasarkan paramater elongasi minimal 8° dan tinggi hilal minimal 5°, kalender ini dirancang berlaku global (1 hari, 1 tanggal, untuk seluruh dunia) dan menggunakan International Date Line sebagai penentu batas waktu, bukan matlak lokal. Hal ini memungkinkan umat Islam di seluruh belahan dunia memiliki acuan tunggal dalam ibadah, seperti hari Arafah dan Idul Fitri.


2. Membedah Inovasi Konseptual KHGT

KHGT tidak hadir dalam kevakuman sejarah. Ia merupakan hasil akumulasi ijtihad ulama sejak awal abad ke-20, mulai dari Ahmad Muhammad Shakir (1939), Mohammad Ilyas (1978), hingga Nidhal Guessoum dan Jamaluddin Abd Razik. Namun, baru pada 2016 dalam Kongres Istanbul dan kemudian dipertegas oleh Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-32 pada 2024, KHGT menemukan bentuk finalnya—yang kini siap diterapkan.

Beberapa prinsip inovatif KHGT meliputi:

  • Matlak global, meniadakan perbedaan zona hilal antar negara;

  • Sinkronisasi waktu dunia berdasarkan GMT dan IDL, bukan waktu lokal;

  • Penggunaan hisab murni, yang memungkinkan kalender ditentukan jauh hari;

  • Penolakan terhadap rukyat sebagai satu-satunya otoritas dalam penentuan bulan.

Gambar 1. Posisi hilal terhadap ufuk lokal di Jakarta dan Eropa menunjukkan perbedaan ketinggian dan visibilitas bulan sabit baru yang sama secara global. (Sumber: KHGT PP Muhammadiyah, 2025)

Visual ini menunjukkan bahwa hilal (bulan sabit pertama) pada saat yang sama (sekitar pukul 02:00 waktu Jakarta) sudah mencapai ketinggian dan elongasi yang lebih besar di langit Eropa, sedangkan di Jakarta ia berada di bawah ufuk (tidak terlihat). Fenomena ini terjadi karena elongasi bulan terus bertambah seiring waktu akibat pergerakan orbitnya, yang membuat hilal tampak lebih tinggi dan lebih besar di lokasi-lokasi yang lebih ke barat dibandingkan lokasi-lokasi di timur seperti Jakarta.

Dengan demikian, penolakan terhadap hilal hanya karena belum tampak secara lokal bertentangan dengan fakta astronomis. KHGT menolak pendekatan lokalitas (matlak lokal) dan memilih pendekatan global (matlak tunggal), di mana visibilitas hilal di satu tempat (seperti Eropa) yang memenuhi syarat elongasi dan ketinggian dianggap cukup sebagai tanda masuknya bulan baru untuk seluruh dunia.

Dalam buku KHGT, terdapat ilustrasi visual seperti Figure 1 dan 2 (hal. 21–22) yang menjelaskan secara ilmiah bagaimana hilal yang tak terlihat di Jakarta pada waktu tertentu, bisa sudah terlihat di Eropa atau Amerika dalam waktu yang bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakseragaman horizon bukan lagi alasan yang valid di era presisi satelit dan sistem waktu universal.


3. Tantangan Implementasi: Religius, Politik, dan Sosiokultural

Sejauh ini, kendala utama penerapan KHGT bukan terletak pada sisi teknis atau ilmiah, tetapi pada resistensi psikologis, politis, dan kebiasaan ormas atau negara yang masih mempertahankan sistem lokal. Sebagian kelompok bahkan masih menganggap rukyat sebagai bentuk ketaatan literal terhadap sunnah, meskipun pada kenyataannya hisab telah digunakan secara luas dalam penentuan waktu shalat.

Ada pula resistensi berbasis otoritas keagamaan negara—misalnya, pemerintah Arab Saudi yang menentukan waktu wukuf Arafah berdasarkan hasil rukyat di wilayahnya saja. Padahal, banyak negara lain akhirnya berpuasa Arafah pada hari berbeda, menimbulkan disonansi simbolik yang mengganggu rasa kesatuan umat.

Muhammadiyah menghadapi tantangan berat untuk mengarusutamakan KHGT di tengah dinamika tersebut. Diperlukan diplomasi keilmuan dan keumatan—baik melalui jalur organisasi keagamaan, OIC (Organisasi Kerja Sama Islam), maupun lembaga seperti ISESCO dan Majelis Ulama Dunia.


4. Prospek Masa Depan: Menyatukan Umat di Era Global

Jika KHGT berhasil diadopsi oleh negara-negara Muslim besar—seperti Indonesia, Mesir, Turki, dan Pakistan—maka ia dapat menjadi tonggak sejarah peradaban Islam kontemporer. KHGT tidak hanya menyatukan waktu, tetapi menyatukan hati umat Islam secara simbolik dan praktis.

Prospek masa depan KHGT meliputi:

  • Standardisasi kalender Islam internasional untuk keperluan ibadah, pendidikan, dan ekonomi Islam;

  • Penguatan simbol persatuan umat global di tengah konflik geopolitik dunia Islam;

  • Efisiensi sosial-ekonomi, seperti pengambilan cuti hari raya yang terprediksi di negara-negara Muslim minoritas;

  • Diplomasi Islam moderat berbasis ilmu pengetahuan di panggung global.

Seperti dijelaskan dalam bagian penutup buku KHGT (hal. 31–32), Muhammadiyah telah memulai komunikasi dengan komunitas Muslim di Eropa dan Amerika, yang secara faktual telah lebih dahulu mengadopsi sistem kalender global berbasis hisab. Artinya, KHGT bukan sekadar gagasan lokal, tetapi solusi universal yang sedang ditunggu-tunggu.


5. KHGT sebagai Ijtihad Peradaban Islam Progresif

KHGT bukan sekadar agenda Muhammadiyah, tetapi tawaran ijtihad kolektif umat Islam untuk keluar dari belenggu disorientasi waktu. Ia menjadi simbol dari dīn al-qayyim—agama yang lurus dan rasional, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 36 dan dalam berbagai hadits Nabi tentang waktu ibadah.

Dengan mengambil pendekatan transformatif—yakni dari Wujudul Hilal lokal menuju KHGT global—Muhammadiyah menunjukkan bahwa Islam tidak stagnan di masa lalu, tetapi siap hadir sebagai agama masa depan yang menjawab tantangan zaman dengan ilmu dan hikmah.

Sudah waktunya dunia Islam berhenti berselisih dalam hal yang seharusnya menjadi alat pemersatu. KHGT adalah jawaban Muhammadiyah atas panggilan zaman: bahwa ke depan, satu tanggal berarti satu umat. Dan dari Indonesia, cahaya itu kini bersinar.

Categories: Artikel