Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA

Sabtu, 21 Juni 2025 menjadi momentum istimewa di Desa Manggala, Kecamatan Pinoh Selatan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Di tengah hamparan alam yang hijau dan kultur masyarakat yang hidup dalam semangat gotong royong, dilaksanakan sebuah kegiatan bertajuk “Ecotheology Harmoni Alam Manggala”. Acara ini diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Barat, bekerja sama dengan FKUB Kabupaten Melawi, dan menghadirkan narasumber nasional dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Dr. Samsul Hidayat, MA.

Berbeda dengan kegiatan forum pada umumnya, acara ini dikemas dalam pendekatan yang unik: peserta diajak bermain boardgame edukatif bertema moderasi beragama dan harmoni ekologis. Sebanyak 45 peserta dari beragam latar belakang—tokoh desa, pemuka adat, tokoh perempuan, dan pengurus FKUB Melawi—ikut serta dalam permainan dan diskusi intensif yang menyertainya. Kegiatan ini tidak hanya mempertemukan perwakilan lintas golongan, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga harmoni sosial dan ekologis.

Dari Desa Sadar Kerukunan Menuju Ekoteologi Lintas Iman

Desa Manggala bukan sembarang desa. Ia telah dikenal sebagai Desa Sadar Kerukunan dan bagian dari program nasional Kampung Moderasi Beragama. Di sinilah nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar jargon tetapi sebagai praksis sosial. Dalam konteks ini, kegiatan Ecotheology Harmoni Alam Manggala menjadi relevan dan kontekstual.

Istilah ekoteologi atau ecotheology sendiri merujuk pada pendekatan spiritual dan religius dalam memaknai relasi manusia dengan alam. Dalam diskursus agama-agama, bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga entitas yang harus dirawat, dijaga, bahkan dihormati. Agama-agama besar dunia menyuarakan nilai tanggung jawab ekologis: Islam berbicara tentang khalifah fil ardh, Kristen menekankan stewardship, Buddha mengajarkan interdependensi makhluk hidup, dan Khonghucu menekankan harmoni antara langit dan manusia (Tian Ren He Yi). Di tengah krisis lingkungan global, pendekatan lintas iman berbasis ekoteologi menjadi sangat strategis.

Bermain untuk Membuka Kesadaran

Dalam kegiatan ini, Dr. Samsul Hidayat, MA—seorang Fasilitator Nasional Moderasi Beragama dari Kementerian Agama RI—memimpin langsung proses bermain dan refleksi atas dua boardgame hasil karyanya: Boardgame Moderasi Beragama dan Harmony Island. Kedua permainan ini telah digunakan dalam berbagai pelatihan nasional dan terbukti efektif mengajak peserta berpikir kritis, berkolaborasi, dan merefleksikan persoalan sosial-keagamaan dan ekologis melalui media yang menyenangkan namun sarat makna.

Dalam boardgame Moderasi Beragama, para peserta diajak menghadapi berbagai skenario konflik dan keragaman yang sering muncul dalam masyarakat multikultural. Setiap peserta diminta untuk memilih respons berdasarkan prinsip moderasi: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap budaya lokal. Menariknya, dari permainan ini lahir setidaknya 20 topik diskusi mendalam, mulai dari praktik penerimaan terhadap perbedaan keyakinan di tingkat keluarga, bagaimana bersikap ketika terjadi gesekan antarpemeluk agama, hingga cara-cara menyikapi perbedaan adat dan tradisi dalam satu komunitas.

Antusiasme peserta begitu tinggi. Setiap narasi dalam permainan mengandung dimensi kehidupan yang nyata di Manggala dan desa-desa sekitarnya. Seorang peserta dari tokoh adat bahkan menyatakan bahwa permainan ini “lebih hidup dari seminar” karena membuka ruang diskusi secara horizontal dan partisipatif. Refleksi kolektif ini menunjukkan bahwa moderasi bukan konsep elitis, tetapi bagian dari kebijaksanaan lokal yang selama ini hidup di masyarakat.

Harmony Island: Ekologi dalam Simulasi Lintas Iman

Setelah permainan pertama, peserta diajak masuk dalam petualangan Harmony Island, sebuah permainan papan yang menggambarkan kehidupan di sebuah pulau imajiner yang dihuni oleh komunitas multireligius. Para pemain bertugas menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, budaya, dan pelestarian alam. Dalam dinamika permainan, muncul banyak persoalan ekologis: pencemaran sungai, perusakan hutan, krisis air bersih, hingga ketegangan akibat pembangunan yang tidak inklusif.

Peserta ditantang untuk berdiskusi lintas peran dan iman, membayangkan bagaimana tokoh Muslim, Kristen, Buddha, dan adat lokal bisa merespons isu ekologi dengan bijak. Dari permainan ini lahir diskusi menarik tentang pola tanam berkelanjutan, pengelolaan limbah rumah tangga, konservasi sumber air, dan juga pentingnya ritual-ritual agama yang bersahabat dengan alam.

Kepala Desa Manggala, Lazarus, yang turut hadir dalam kegiatan ini menyampaikan rasa syukurnya. Dalam wawancara singkat usai acara, ia berkata, “Kami berterima kasih kepada FKUB Provinsi Kalbar atas kegiatan luar biasa ini. Permainan ini membangkitkan kesadaran kami, bahwa desa kami tidak hanya harus rukun, tetapi juga harus menjaga alamnya. Moderasi itu menyatu dengan alam.”

20 Topik Reflektif yang Muncul dari Permainan

Berikut ini adalah beberapa dari 20 topik diskusi reflektif yang muncul selama kegiatan:

  1. Membedakan antara toleransi dan kompromi keyakinan

  2. Pentingnya simbol budaya dalam memperkuat moderasi

  3. Peran perempuan dalam membangun kerukunan desa

  4. Penggunaan media sosial secara moderat

  5. Ritual lintas agama dan penghormatan ruang ibadah

  6. Menyikapi ujaran kebencian berbasis agama

  7. Kerja sama lintas iman dalam kegiatan lingkungan

  8. Pemaknaan bencana alam sebagai peringatan moral

  9. Keterhubungan manusia dengan tanah dan air

  10. Kearifan lokal sebagai benteng keberagaman

  11. Strategi menanggapi konflik tanah adat dan agama

  12. Peran tokoh adat sebagai penjaga kerukunan

  13. Dialog agama berbasis pengalaman, bukan doktrin

  14. Keadilan ekologis dalam pembangunan desa

  15. Etika konsumsi dan sampah dalam tradisi keagamaan

  16. Revitalisasi musyawarah adat untuk persoalan bersama

  17. Pendidikan anak berbasis nilai lintas agama

  18. Kepemimpinan moderat dan pemersatu

  19. Hubungan spiritualitas dengan pemulihan alam

  20. Sinergi antara pemerintah desa, FKUB, dan pemuka agama

Topik-topik tersebut menjadi bahan refleksi dan catatan penting yang bisa dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan FKUB berikutnya, bahkan dijadikan modul pelatihan dan pendampingan desa-desa lainnya di Kalimantan Barat dan seluruh Indonesia.

Dari Permainan ke Gerakan Sosial

Apa yang dilakukan FKUB Provinsi Kalbar dan FKUB Kabupaten Melawi ini sesungguhnya lebih dari sekadar acara seremonial. Ini adalah prototipe gerakan sosial berbasis nilai-nilai agama dan ekologi. Dalam situasi bangsa yang rentan polarisasi, ditambah tekanan krisis lingkungan, inisiatif seperti Ecotheology Harmoni Alam Manggala adalah harapan nyata dari desa untuk Indonesia.

Mengutip refleksi penutup dari Dr. Samsul Hidayat, “Permainan ini bukan sekadar bermain. Ini adalah cara kita berlatih hidup bersama dalam keragaman, menjaga bumi sebagai rumah bersama, dan menjadikan agama sebagai sumber solusi, bukan sumber konflik.”

Penutup: Moderasi dan Ekologi, Jalan Bersama Menuju Keberlanjutan

Kegiatan di Desa Manggala adalah bukti nyata bahwa pendekatan spiritual, edukatif, dan partisipatif bisa membangun kesadaran baru di tingkat akar rumput. Ketika moderasi beragama dan kesadaran ekologis digabungkan dalam satu platform dialog, maka lahirlah ekoteologi lintas iman yang bisa menjawab tantangan zaman.

Semoga langkah kecil ini menjadi api kecil yang menyalakan lentera kesadaran di desa-desa lain, bahwa harmoni sejati hanya bisa dicapai bila manusia berdamai dengan sesamanya dan dengan alam semesta.

Categories: Artikel