Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA
(Fasilitator Nasional Moderasi Beragama)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (ummatan wasathan)…” — (QS. Al-Baqarah:143)
Di tengah tantangan kehidupan keberagamaan yang kian kompleks dan sering kali dipenuhi polarisasi identitas, ekstremisme simbolik, serta kaburnya batas antara sikap kritis dan intoleransi, kehadiran mahasiswa baru di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seperti IAIN Pontianak memerlukan pembekalan ideologis yang kuat namun inklusif. Salah satu upaya penting dalam kerangka tersebut adalah melalui kegiatan Daya Tahan dan Penguatan Moderasi Beragama bagi Mahasiswa Baru (31/5/2025), yang diselenggarakan oleh IAIN Pontianak sebagai bagian dari penguatan visi akademik dan kebangsaan mahasiswa sejak awal masa studi.
Moderasi Beragama: Pilar Keseimbangan dalam Keberagamaan
Kegiatan yang dirancang secara interaktif ini tidak sekadar menjadi ceramah satu arah, melainkan forum dialog partisipatif di mana mahasiswa diberi ruang untuk mengeksplorasi gagasan, pengalaman, dan solusi aktual dalam menghidupkan nilai-nilai moderasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Samsul Hidayat, MA selaku fasilitator nasional kegiatan ini, moderasi bukanlah kompromi dalam prinsip, melainkan keberanian dalam menjaga keseimbangan—wasathiyah, yang dalam istilah keislaman bermakna keadilan, keseimbangan, toleransi, dan proporsionalitas.
Menyemai Daya Tahan: Mahasiswa Sebagai Penjaga Nilai
Dalam sesi pembukaan, mahasiswa diajak merenungi pengalaman menyentuh saat berjumpa dengan seseorang dari latar keyakinan berbeda yang justru menghadirkan kebaikan. Refleksi ini membuka ruang empati dan kesadaran bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sumber kekuatan moral dan sosial. Selanjutnya, mahasiswa diperkenalkan pada konteks nasional moderasi beragama yang telah menjadi agenda strategis Kementerian Agama RI melalui berbagai kebijakan, termasuk pembentukan Rumah Moderasi Beragama di setiap PTKIN.
Tiga Tingkatan Penguatan
Materi fasilitasi menyusun penguatan moderasi dalam tiga level yang saling berkaitan:
-
Individu: Mahasiswa harus memiliki literasi keagamaan yang mumpuni, kemampuan membuka wawasan, serta kontrol terhadap emosi dan perilaku digital. Ini penting untuk menghadapi provokasi ideologis dan ujaran kebencian yang kini marak di media sosial.
-
Organisasi: Kegiatan intra-kampus seperti ormawa harus dirancang inklusif dan bernarasi damai, bukan eksklusif atau memonopoli tafsir.
-
Kampus: Harus tersedia ruang perjumpaan lintas iman dan ideologi, yang memfasilitasi dialog dan kerja kolaboratif antar kelompok mahasiswa dari berbagai latar..

Lima Belas Topik Diskusi: Dari Radikalisme Halus hingga Dialog Lintas Iman
Untuk menjadikan mahasiswa sebagai agen aktif, kegiatan ini menggunakan metode diskusi kelompok berbasis topik. Lima belas topik disediakan untuk dibedah dalam kelompok kecil. Topik-topik ini mencakup isu-isu aktual seperti ujaran kebencian di media sosial, ekstremisme intelektual di kampus, toleransi antaragama, peran mahasiswa dalam menyuarakan moderasi, hingga problem radikalisme halus yang tersembunyi dalam retorika religius yang tampak moderat.
Beberapa topik yang sangat relevan dengan realitas Kalimantan Barat—sebagai wilayah plural—adalah “Dialog Antariman di Kalbar” dan “Tradisi Lokal dan Islam Moderat”. Kedua topik ini menggugah kesadaran mahasiswa bahwa keberislaman yang moderat justru dapat mengakar kuat jika mampu bersinergi dengan nilai-nilai lokal seperti saprahan, gotong royong, dan keberagaman etnis-religius di Kalbar.
Topik lain seperti “Perempuan dan Moderasi Beragama” dan “Moderasi dan Krisis Iklim” juga mencerminkan perluasan spektrum moderasi dalam konteks keadilan gender dan kepedulian ekologis, membuktikan bahwa moderasi tidak stagnan dalam wilayah ritual dan dogma, melainkan merambah ke isu-isu kemanusiaan dan keberlanjutan hidup.
Komitmen Nyata: Menulis Tindakan, Mewujudkan Perubahan
Puncak kegiatan diisi dengan sesi refleksi dan komitmen. Mahasiswa tidak hanya diajak berpikir, tapi juga menulis secara konkret satu hal yang akan mereka ubah mulai hari ini untuk menjadi bagian dari solusi. Kertas berwarna yang memuat komitmen itu dikumpulkan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan spiritual—bahwa perubahan sosial dimulai dari kesadaran personal yang direfleksikan secara kolektif.
Langkah ini sangat penting dalam membentuk kultur moderasi yang tidak elitis, tetapi membumi, karena muncul dari dorongan internal mahasiswa sebagai pelaku perubahan (change agent), bukan sebagai objek doktrinasi. Dalam konteks ini, IAIN Pontianak tidak hanya melahirkan sarjana, tetapi sarjana moderat yang memiliki etos ilmiah sekaligus empati sosial yang tinggi.
Relevansi Nilai Wasathiyah bagi Mahasiswa Abad 21
Wasathiyah sebagai landasan utama moderasi beragama bukanlah konsep pasif atau defensif. Di era pasca-kebenaran dan meledaknya hoaks agama, wasathiyah menjadi strategi epistemik dan praksis: bagaimana menghadirkan wajah Islam yang inklusif, adil, beradab, dan transformatif di tengah realitas keberagaman. Mahasiswa sebagai digital native harus memanfaatkan ruang digital bukan untuk menyebar dominasi kebenaran tunggal, tetapi sebagai kanal narasi damai, toleran, dan kontekstual.
Empat indikator utama dari Kementerian Agama—komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi lokal—harus diinternalisasi dan dipraktikkan dalam dinamika kemahasiswaan sehari-hari: dari ruang kelas hingga kegiatan ormawa, dari unggahan Instagram hingga obrolan WhatsApp. Dengan demikian, moderasi menjadi nilai hidup, bukan sekadar slogan kampus.
Menyiapkan Rumah Moderasi sebagai Laboratorium Sosial
Hasil dari kegiatan ini tidak hanya berhenti pada forum diskusi, melainkan akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan pengembangan Rumah Moderasi Beragama di IAIN Pontianak. Rumah ini bukan sekadar lembaga struktural, tetapi harus menjadi laboratorium sosial yang mengembangkan inovasi pendidikan, riset lintas iman, dan advokasi budaya damai.
Komitmen mahasiswa, ide-ide kritis mereka, dan pengalaman nyata dari ruang kampus akan menjadi bahan baku yang berharga dalam merancang modul pelatihan, kegiatan pengabdian, hingga publikasi ilmiah berbasis nilai wasathiyah.
Dari Mahasiswa Menjadi Penjaga Peradaban
Dalam menghadapi era global yang penuh turbulensi identitas, mahasiswa bukan hanya penuntut ilmu, tetapi juga penjaga peradaban. Ketika narasi keagamaan direduksi menjadi sekat-sekat eksklusif, di sanalah peran mahasiswa moderat menjadi cahaya penjernih. Ketika agama digunakan untuk memecah, mahasiswa IAIN Pontianak harus hadir untuk merajut. Ketika tradisi lokal dilabeli sesat, mereka harus membelanya sebagai warisan luhur yang menjunjung toleransi.
Moderasi beragama bukan sekadar proyek kementerian, tetapi ikhtiar bersama untuk membentuk Indonesia yang adil, damai, dan berkeadaban. Dan mahasiswa IAIN Pontianak, dengan semangat kritis dan nurani religiusnya, sedang menapaki jalan panjang tersebut—dengan langkah pertama yang penuh makna: memahami, menginternalisasi, dan menyuarakan nilai wasathiyah dalam keseharian.