Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA
Wakil Ketua PWM Kalimantan Barat | Penemu Psikognosia Ilahiyah – 99 Jalan Pulang Menuju Tuhan
Masjid At-Tanwir, Pontianak – Sabtu, 31 Mei 2025
Pada Sabtu berkah, Masjid At-Tanwir dipenuhi cahaya harapan dan renungan mendalam ketika Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat menyelenggarakan pengajian tematik bertajuk “Ontologi Rezeki: Menemukan Makna Diri dalam Nama Ar-Razzāq.” Kegiatan ini merupakan sinergi antara Majelis Tabligh, Takmir Masjid At-Tanwir, PW Pemuda Muhammadiyah Kalbar, dan LAZISMU Kalbar.
Lebih dari sekadar kegiatan keagamaan, acara ini menjadi ruang refleksi kolektif untuk menyelami kembali akar spiritualitas dalam kehidupan modern yang sering kali tereduksi hanya pada aspek material. Dr. Samsul Hidayat, MA hadir sebagai narasumber utama, mengajak hadirin untuk menafsir ulang konsep rezeki dalam kerangka ontologis dan spiritual.
Rezeki: Lebih dari Sekadar Materi
Sering kali, kita memaknai rezeki sebatas nominal: gaji, penghasilan, rumah, kendaraan, atau posisi jabatan. Padahal, dalam dimensi ilahiyah, rezeki adalah tanda eksistensi dan kasih sayang Tuhan. Nama Ar-Razzāq bukan hanya menyatakan bahwa Allah memberi, tetapi menegaskan bahwa Allah hadir secara aktif dalam kehidupan manusia—memelihara, manjamin, mencukupi, dan membimbing.
Allah SWT menegaskan dalam QS Adz-Dzariyat: 58:
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki, yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
Ayat ini menyatakan bahwa rezeki adalah wujud kehadiran Tuhan yang kokoh, bukan sesuatu yang acak dan kebetulan. Rezeki adalah komunikasi spiritual yang diam-diam namun kuat, yang menyampaikan pesan dari Allah: “Aku bersamamu.”
Ontologi Rezeki: Jalan Pulang Menuju Diri
Ontologi adalah cabang ilmu yang membahas hakikat keberadaan. Maka ketika kita berbicara tentang “ontologi rezeki,” yang kita maksud adalah pemahaman bahwa rezeki bukan hanya pemberian, tapi juga penyingkap hakikat manusia.
Apakah kita adalah hamba yang bersyukur, ataukah makhluk yang terus menerus menuntut? Apakah kita bergantung pada Allah atau hanyut dalam sistem kapitalisme yang membutakan?
Dalam setiap bentuk rezeki—baik materi maupun non-materi—Allah sedang menguji dan menyingkap siapa diri kita sebenarnya.
Kekayaan Nominal vs Kekayaan Eksistensial
Salah satu krisis terbesar umat manusia hari ini adalah kekayaan angka, tetapi kemiskinan makna. Banyak orang bergaji besar, hidup mewah, tetapi merasa kosong, gelisah, dan tidak berarti. Mereka tersesat dalam hutan angka, dan kehilangan jalan pulang ke hati.
Mereka memiliki segalanya, tapi hatinya tidak pernah tinggal. Maksudnya, hati mereka tidak pernah merasa cukup, tidak pernah merasa hadir, selalu merasa kurang, dan terus mencari. Inilah kekosongan eksistensial yang tidak bisa diisi oleh angka.
Dalam konteks inilah, Ar-Razzāq menghadirkan rezeki yang melampaui angka: tubuh yang sehat, pasangan yang mendukung, anak yang taat, sahabat yang tulus, atau ketenangan hati saat berdoa. Semua itu adalah rezeki yang tak bisa dibeli, tapi sangat dibutuhkan.
Ekonomi Tauhid dan Spiritualitas Produktif
Dalam Islam, rezeki adalah bagian dari ketetapan ilahi, tetapi ikhtiar tetap menjadi syarat. Itulah yang disebut dengan ekonomi tauhid—sebuah kerangka berpikir di mana usaha adalah ibadah, hasil adalah pemberian, dan kecukupan adalah bentuk penghambaan.
Al-Ghazali pernah menekankan bahwa rezeki bukan hasil semata-mata dari kerja manusia, melainkan kehendak dan rahmat Allah yang tersalur melalui sebab-sebab duniawi. Rezeki semata-mata karena hadiah dari Allah swt.
QS Hud: 6 menyatakan:
“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”
Dalam ekonomi tauhid, rezeki bukan tujuan, tetapi bagian dari perjalanan. Kita bekerja bukan demi kekayaan, tapi karena Allah memerintahkan bekerja sebagai ibadah. Dan ketika hasilnya datang, kita menerimanya dengan syukur, bukan keluh.
Spiritualitas produktif ini membebaskan manusia dari dua penyakit sosial besar: kecemasan berlebih (anxiety) dan kerakusan (greed). Ia membangun etos kerja yang sehat, sekaligus jiwa yang tenang.
Membuka Kembali Makna Kecukupan
Dalam Islam, cukup bukan berarti miskin, dan kaya bukan berarti sombong. Kecukupan (qanā‘ah) adalah bentuk rezeki paling luhur yang datang dari Allah. Ketika seseorang merasa cukup dengan yang ia miliki, di situlah ia merasa kaya sesungguhnya.
Rezeki bukan hanya apa yang kita genggam, tapi juga apa yang bisa kita lepaskan dengan tenang. Inilah yang Dr. Samsul Hidayat sebut sebagai “rezeki sebagai jalan pulang”—sebab dalam rasa cukup, manusia kembali mengenali Tuhannya.
Aspek Psikognosia Ilahiyah: Jalan Pulang ke Tuhan melalui Ar-Razzāq
Metode Psikognosia Ilahiyah – 99 Jalan Pulang Menuju Tuhan melalui Asmaul Husna yang Dr. Samsul gagas menekankan bahwa setiap nama Allah dapat dijadikan jalan terapi spiritual. Dalam konteks ini, Ar-Razzāq adalah nama yang tidak hanya memberi, tapi juga menyembuhkan jiwa yang merasa kekurangan, terluka oleh kesenjangan, dan kehilangan arah hidup.
Ketika seseorang merenungi nama Ar-Razzāq, ia akan menemukan bahwa Tuhan telah memberi terlalu banyak—hanya saja hati kita sering terlalu sibuk menghitung kekurangan.
Psikognosia bukan sekadar ilmu mengenal Tuhan, tapi juga seni menyembuhkan diri melalui pengenalan terhadap sifat-sifat-Nya. Dan dalam setiap rezeki, ada pelajaran ruhani yang harus kita renungkan.
Rezeki sebagai Tanda Cinta dan Kehadiran
Acara ini menjadi pengingat bahwa rezeki bukan hanya angka dalam rekening, tetapi adalah cara Allah menunjukkan bahwa kita tidak sendiri. Bahwa dalam setiap desahan napas, ada perhatian Tuhan yang tak terlihat.
Bagi masyarakat yang tengah menghadapi tekanan ekonomi, inflasi, ketimpangan sosial, atau krisis makna dalam hidup, pendekatan ontologi rezeki dapat menjadi obat penyembuh. Ia mengembalikan orientasi hidup manusia dari sekadar mengejar dunia menjadi mengejar kedekatan dengan Tuhan.
Melalui kegiatan ini, kita belajar bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang halal dan haram dalam transaksi, tapi juga tentang cinta, kehadiran, dan kepercayaan kepada Yang Maha Memberi. Dan ketika kita memahami itu semua, maka sesungguhnya kita telah menemukan jalan pulang: jalan yang diterangi oleh cahaya Ar-Razzāq.