Oleh: Dr. Samsul Hidayat, MA
Penemu Terapi Asmaul Husna


Dalam kehidupan yang penuh lika-liku, setiap manusia pada dasarnya mencari dua hal mendasar: keadilan dan rizki. Dua nilai agung ini bukan sekadar kebutuhan fisik atau sosial, melainkan kebutuhan batin yang sangat dalam. Ketika keadilan dirasakan dan rizki diyakini, maka jiwa akan merasa aman, tenang, dan penuh harapan.

Itulah pesan utama yang disampaikan dalam kegiatan Terapi Asmaul Husna yang diadakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pontianak, bersama warga binaan, para pendamping dari pihak lapas seperti Bapak Fachri Agri, serta tokoh dakwah Kalbar seperti Bapak Aswan, selaku Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PW Muhammadiyah Kalimantan Barat.

Dr. Samsul Hidayat, MAhadir sebagai pemateri dalam kegiatan tersebut, bukan sekadar untuk memberikan ceramah, tetapi untuk menghadirkan pengalaman spiritual dan refleksi batin melalui dua Asmaul Husna yang agung: Al-‘Adl (Yang Maha Adil) dan Ar-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki)


Al-‘Adl: Menggali Keadilan Ilahi dalam Ruang Tertutup

Bagi banyak orang, jeruji besi adalah akhir dari segalanya. Tapi bagi mereka yang membuka hati, justru di situlah titik awal pertaubatan dan kebangkitan batin. Salah satu sifat Allah yang sangat menyentuh hati warga binaan adalah Al-‘Adl: bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Adil.

Namun, bagaimana mungkin seorang yang menjalani hukuman pidana bisa merasa keadilan itu nyata?

Inilah yang Dr. Samsul refleksikan dalam sesi terapi: bahwa keadilan Allah bukan hanya dalam bentuk hukuman, tapi dalam kesempatan untuk memperbaiki diri. Allah menempatkan seseorang di ruang yang sempit, agar ia bisa melihat luasnya jiwanya. Allah membatasi geraknya, agar ia bisa meluaskan pikirannya.

Banyak warga binaan yang tersentuh ketika menyadari bahwa masa hukuman bisa menjadi ruang taubat, bukan ruang dendam. Ketika mereka memahami bahwa Allah itu Al-‘Adl, mereka belajar menerima masa lalu, dan mulai memaafkan diri sendiri. Ini adalah langkah awal dari penyembuhan mental.

Dengan pendampingan keagamaan yang konsisten dari pihak lapas, warga binaan mulai membangun narasi baru: bahwa hidup mereka belum selesai, bahwa kesempatan untuk hidup lebih baik masih terbuka lebar, dan bahwa Allah tidak menciptakan mereka untuk dibenci, tetapi untuk dibimbing.


Ar-Razzaq: Yakin pada Rizki di Tengah Keterbatasan

Di balik jeruji, banyak yang kehilangan pekerjaan, kehilangan relasi, bahkan kehilangan rasa percaya diri. Maka muncullah keraguan: Apakah aku masih punya masa depan? Apakah aku masih bisa mencari nafkah dengan terhormat?

Di sinilah kehadiran Asmaul Husna Ar-Razzaq menjadi penawar dahaga spiritual yang sangat dalam. Bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rizki, tanpa batas, tanpa syarat, tanpa pamrih. Rizki bukan hanya uang, tapi juga kesempatan, ketenangan, keterampilan, dan relasi yang sehat.

Dalam sesi terapi, Dr. Samsul membimbing warga binaan untuk mendefinisikan ulang arti rezeki. Bahwa setiap hari yang dijalani dengan sabar, setiap ilmu yang diterima di ruang pembinaan, dan setiap interaksi yang membangun sesama teman adalah bentuk rizki yang nyata. Bahkan ketenangan hati, kesanggupan memaafkan, dan kemampuan untuk berdamai dengan diri sendiri adalah rizki paling mahal yang tak bisa dibeli oleh siapapun.

Keyakinan ini mulai mengubah cara pandang warga binaan. Mereka mulai menyebut “rizki” tidak lagi sebagai gaji atau transferan dari luar, tetapi apa yang Allah beri dalam bentuk ruhiyah dan sosial di lingkungan Lapas.


Integrasi Dua Sifat Ilahi dalam Interaksi Sesama Warga

Hal yang paling menggembirakan adalah ketika dua nilai ini—keadilan dan keyakinan pada rizki—mulai mengakar dalam interaksi warga binaan satu sama lain.

Mereka mulai belajar tidak saling menghakimi, tidak memperpanjang konflik masa lalu, dan mencoba memberi manfaat dalam komunitas kecil mereka. Ada yang mulai menjadi guru ngaji, menjadi pendengar yang baik, menjadi penghibur bagi yang sedang stres, atau bahkan mulai menulis dan mencatat pengalaman spiritual mereka.

Sifat Al-‘Adl membuat mereka menyadari pentingnya menjaga keadilan sosial dan rasa hormat sesama, meski dalam lingkungan terbatas. Sementara Ar-Razzaq membuat mereka lebih ringan tangan dan optimis, karena mereka yakin berbagi tidak akan membuat miskin, justru membuka pintu keberlimpahan.

Dari sinilah kesehatan mental mulai pulih. Dari sinilah optimisme tumbuh. Dan dari sinilah semangat perubahan menemukan pijakannya.


Menuju Jiwa yang Merdeka, Meski Masih di Balik Jeruji

Terapi Asmaul Husna bukan tentang hafalan, tetapi tentang pengalaman spiritual yang konkret. Ketika warga binaan menyebut “Ya ‘Adl” dan “Ya Razzaq” dengan hati yang sadar, mereka sedang menyusun kembali puing-puing jiwanya.

Mereka belajar bahwa keadilan Allah tidak selalu berbentuk kebebasan fisik, tetapi kelegaan batin. Dan bahwa rizki Allah bisa datang dalam bentuk harapan dan cinta dari sesama.

Semoga program ini terus berlanjut, dan semoga Lapas Pontianak menjadi rumah perubahan, bukan sekadar tempat hukuman.

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath-Thalaq: 2–3)

Wallāhu al-Musta‘ān.

Categories: Artikel