Kontroversi Kontrasepsi Remaja
"Kontrasepsi Remaja di Indonesia: Perspektif Agama dan Budaya"
Dr. Samsul Hidayat, MA
(Ketua ICMI Orda Kota Pontianak)
Pengantar
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Reproduksi telah memicu berbagai polemik, terutama terkait Pasal 103 yang mengatur mengenai kontrasepsi remaja. Dalam konteks Indonesia yang memiliki keragaman agama dan budaya, isu ini menjadi semakin kompleks. Tulisan ini akan menganalisis isu kontrasepsi remaja dari perspektif agama dan budaya, serta mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi dan demografis Indonesia secara umum.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mengungkapkan bahwa sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 persen remaja pria di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Dari jumlah tersebut, 11 persen mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, 59 persen wanita dan 74 persen pria melaporkan mulai berhubungan seksual pertama kali pada umur 15-19 tahun. Data ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap kesehatan reproduksi remaja di Indonesia (PontianakPost, 08/08/2024)
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 mengatur berbagai aspek kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi remaja. Beberapa poin penting dari peraturan ini meliputi:
1. Pasal 49: Menyatakan bahwa upaya kesehatan remaja bertujuan mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif.
2. Pasal 50 (1): Menegaskan bahwa upaya kesehatan remaja dilakukan melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan atau paliatif.
3. Pasal 103: Mempertegas bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja meliputi pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menekankan pentingnya membaca Peraturan Pemerintah secara utuh. Mereka menyoroti bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja adalah bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi dalam kerangka upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja. Menurut mereka, Pasal 103 harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, di mana edukasi dan komunikasi merupakan aspek utama dalam upaya kesehatan reproduksi remaja.
Perspektif Agama terhadap Kontrasepsi Remaja
Islam
Dalam pandangan Islam, hubungan seksual di luar pernikahan dianggap sebagai zina dan dilarang. Surat Al-Isra' Ayat 32 menyebutkan; “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. Oleh karena itu, penggunaan kontrasepsi untuk remaja yang belum menikah dapat menimbulkan kontroversi di kalangan ulama dan masyarakat Muslim. Namun, Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah kemudaratan. QS. Al-Baqarah: 195 ("Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan").
Dalam konteks ini, beberapa ulama berpendapat bahwa penyediaan informasi dan edukasi mengenai kontrasepsi dapat diterima sebagai langkah preventif untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual, asalkan dilakukan dengan cara yang tidak mendorong perilaku zina. Dalam konteks Prinsip Maqasid al-Shariah, bahwa syariat Islam bertujuan untuk melindungi agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Penggunaan kontrasepsi dapat dianggap sebagai upaya melindungi jiwa dan keturunan dari bahaya kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual.
Kristen
Dalam ajaran Kristen, seksualitas dianggap sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga dan dihormati dalam kerangka pernikahan. Gereja Katolik, misalnya, secara tegas menolak penggunaan kontrasepsi buatan dan mempromosikan metode alamiah dalam perencanaan keluarga. Namun, beberapa denominasi Kristen lainnya lebih fleksibel dalam hal ini, dengan menekankan pentingnya edukasi dan tanggung jawab pribadi dalam penggunaan kontrasepsi.
Meskipun dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak ada perintah langsung mengenai kontrasepsi, namun prinsip-prinsip tentang kesucian pernikahan dan pengendalian diri dapat diinterpretasikan dalam konteks ini. Contoh: Kejadian 1:28 ("Beranakcuculah dan bertambah banyak..."). Dalam konteks doktrin gereja, Gereja Katolik menolak penggunaan kontrasepsi buatan berdasarkan ensiklik Humanae Vitae oleh Paus Paulus VI, yang mengajarkan bahwa setiap tindakan seksual harus terbuka terhadap kemungkinan kehidupan. Sementara Gereja Protestan lebih beragam, beberapa denominasi menerima penggunaan kontrasepsi dengan menekankan tanggung jawab pribadi dan perlunya edukasi.
Hindu dan Buddha
Dalam ajaran Hindu dan Buddha, etika seksual juga sangat dihargai, dengan penekanan pada pengendalian diri dan tanggung jawab moral. Meskipun tidak ada larangan tegas terhadap penggunaan kontrasepsi, pentingnya menjaga kesucian dan tanggung jawab dalam hubungan seksual tetap menjadi nilai utama. Edukasi dan informasi mengenai kontrasepsi dapat diterima sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan dan kesejahteraan.
Secara teologis, Kitab Suci Hindu, Veda dan Upanishad memang tidak secara eksplisit membahas kontrasepsi, namun menekankan pada pengendalian diri dan tanggung jawab dalam semua aspek kehidupan termasuk seksualitas. Dalam konteks Dharma, yaitu Kewajiban Moral, Dharma menekankan pentingnya menjalani kehidupan yang benar dan seimbang, termasuk dalam konteks reproduksi dan keluarga.
Sementara dasar teologis Buddha, Ajaran Buddha (Dhamma), yaitu Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan: Menekankan pada pengendalian diri, kebijaksanaan, dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal reproduksi. Dalam kitab Vinaya Pitaka di jelaskan, aturan monastik untuk para biksu dan biksuni yang mencakup pengendalian diri dan perilaku moral, meskipun tidak secara langsung membahas kontrasepsi. Ajaran Buddha tentang Karma dan Ahimsa (Tanpa Kekerasan), bahwa tindakan yang membawa akibat (karma) harus dipertimbangkan dengan hati-hati, dan penggunaan kontrasepsi dapat dilihat sebagai cara untuk menghindari penderitaan yang tidak perlu (ahimsa) bagi diri sendiri dan orang lain.
Khonghucu
Perspektif agama Khonghucu terhadap kontrasepsi remaja dapat dilihat melalui nilai-nilai etika dan moral yang diajarkan oleh Confucius (Kongzi), meskipun Khonghucu tidak secara eksplisit membahas tentang kontrasepsi dalam teks-teks klasiknya. Namun, ajaran-ajaran dasar Khonghucu dapat memberikan panduan mengenai pandangan umum terhadap isu ini. Ajaran Khonghucu dan Prinsip Moral seperti Kebajikan (Ren) dan Kesusilaan (Li):
- Ren (仁) atau kebajikan, adalah inti dari ajaran Khonghucu. Ini mencakup cinta kasih, kebaikan hati, dan kemanusiaan. Tindakan yang merugikan diri sendiri atau orang lain, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, dapat dianggap tidak sejalan dengan nilai kebajikan.
- Li (礼) atau kesusilaan, adalah seperangkat norma dan ritual yang mengatur kehidupan sosial dan moral. Li menekankan pentingnya perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima.
Perspektif Budaya dalam Kontrasepsi Remaja
1. Nilai-Nilai Tradisional
Budaya Indonesia yang kaya dan beragam mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kontrasepsi remaja. Nilai-nilai tradisional yang menekankan pentingnya menjaga kesucian dan kehormatan keluarga seringkali membuat topik ini menjadi tabu. Dalam banyak budaya lokal, pembicaraan tentang seksualitas dan kontrasepsi masih dianggap sebagai hal yang memalukan dan tidak pantas.
2. Modernisasi dan Globalisasi
Di sisi lain, modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan dalam sikap dan perilaku masyarakat, terutama di kalangan remaja. Akses yang lebih mudah terhadap informasi melalui internet dan media sosial telah membuka wawasan remaja mengenai kesehatan reproduksi. Namun, ini juga membawa tantangan tersendiri, seperti penyebaran informasi yang tidak akurat dan meningkatnya risiko perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab.
Kondisi Sosial-Ekonomi dan Demografis di Indonesia
1. Pendidikan dan Akses Informasi
Tingkat pendidikan dan akses informasi memainkan peran penting dalam menentukan sikap dan perilaku remaja terkait kesehatan reproduksi. Remaja yang memiliki akses lebih baik ke pendidikan dan informasi cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang risiko dan tanggung jawab dalam hubungan seksual. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan dan akses informasi mengenai kesehatan reproduksi menjadi sangat penting.
2. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Kesenjangan sosial dan ekonomi juga mempengaruhi kemampuan remaja untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi. Remaja dari keluarga miskin atau daerah terpencil seringkali menghadapi hambatan dalam mengakses informasi dan layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Ini dapat meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan masalah kesehatan reproduksi lainnya.
3. Peran Pemerintah dan Lembaga Non-Pemerintah
Pemerintah dan lembaga non-pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi isu kesehatan reproduksi remaja. Program-program yang difokuskan pada edukasi, peningkatan akses layanan kesehatan, dan pemberdayaan remaja dapat membantu mengurangi risiko dan meningkatkan kesehatan reproduksi. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan komunitas lokal sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Analisis Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024
1. Pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Pasal 103 menekankan pentingnya pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dalam upaya kesehatan reproduksi remaja. KIE menjadi ujung tombak dalam mengedukasi remaja tentang risiko dan tanggung jawab dalam hubungan seksual. Edukasi yang tepat dan komprehensif dapat membantu remaja membuat keputusan yang lebih baik dan mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan.
2. Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Selain KIE, Pasal 103 juga mencakup pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja. Pelayanan ini harus mencakup akses yang aman dan terpercaya terhadap informasi dan alat kontrasepsi, serta dukungan medis yang diperlukan. Penyediaan layanan ini harus dilakukan dengan cara yang sensitif terhadap kebutuhan dan kondisi remaja, serta menghormati nilai-nilai agama dan budaya yang ada.
Kesimpulan
Isu kontrasepsi remaja di Indonesia adalah isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang holistik. Data dari SDKI 2017 menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja perlu mendapat perhatian serius untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan masalah kesehatan reproduksi lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 mencoba menyeimbangkan kebutuhan akan edukasi dan informasi dengan penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Dari perspektif agama, pandangan terhadap kontrasepsi remaja bervariasi, namun pada umumnya menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai moral dan tanggung jawab. Sementara itu, budaya Indonesia yang kaya dan beragam juga mempengaruhi sikap masyarakat terhadap isu ini. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan program yang sensitif terhadap nilai-nilai agama dan budaya, serta meningkatkan akses pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja.
Pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan komunitas lokal harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan reproduksi remaja. Edukasi yang komprehensif, peningkatan akses layanan kesehatan, dan pemberdayaan remaja adalah kunci untuk mencapai tujuan ini. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu remaja Indonesia tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif.
Rekomendasi
1. Peningkatan Edukasi dan Informasi: Upaya untuk meningkatkan pendidikan dan informasi tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja harus diperkuat. Edukasi harus mencakup informasi tentang risiko, tanggung jawab, dan cara melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual.
2. Pendekatan Holistik: Pendekatan kesehatan reproduksi harus bersifat holistik, mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Program-program harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan remaja secara komprehensif, termasuk dukungan emosional dan psikologis.
3. Keterlibatan Semua Pihak: Semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan komunitas, harus terlibat.
Print Version