Studi Agama: Pandangan, visi, dan misi global
Oleh; Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Studi agama saat ini telah berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang melibatkan kontribusi dari berbagai belahan dunia. Dalam artikelnya, "Religious studies: A global view, vision, and mission", (2009) T. Jensen menyoroti bahwa studi agama telah menjadi sebuah "global enterprise," namun ia mencatat bahwa disiplin ini masih kekurangan "global vision." Jensen menekankan bahwa para sarjana di bidang ini tersebar di seluruh dunia, tetapi seringkali pandangan mereka tentang disiplin ini tetap "parokial," terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat, di mana para akademisi cenderung tidak menyadari atau bahkan meremehkan karya-karya yang dihasilkan di wilayah lain.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana globalisasi telah mempengaruhi studi agama. Globalisasi tidak hanya membawa tantangan dalam hal pertukaran gagasan antarbudaya, tetapi juga membuka peluang untuk menciptakan dialog lintas budaya yang lebih inklusif. Misalnya, bagaimana pengaruh globalisasi dalam memfasilitasi akses terhadap literatur agama dari berbagai tradisi dan wilayah dunia? Selain itu, bagaimana globalisasi memungkinkan studi agama untuk lebih mengintegrasikan perspektif dari berbagai konteks sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda?
Dengan demikian, analisis ini dapat memperkaya diskusi tentang bagaimana studi agama dapat bergerak menuju "global vision" yang lebih komprehensif. Sebagai contoh, salah satu pendekatan untuk memperkuat visi global ini adalah dengan mendorong kolaborasi antaruniversitas di berbagai negara dalam penelitian dan publikasi di bidang studi agama, sehingga dapat mengurangi kecenderungan parokial dalam disiplin ini.
Ketidaksetaraan Akses dalam Studi Agama
Artikel ini juga membahas adanya ketidaksetaraan akses dalam studi agama, yang digambarkan oleh Jensen sebagai "asymmetric ignorance." Istilah ini merujuk pada ketidaktahuan atau pengabaian oleh para sarjana di Amerika Utara dan Eropa Barat terhadap karya-karya yang dihasilkan di bagian dunia lain. Jensen mengutip konsep ini dari Dipesh Chakrabarty, yang menunjukkan bagaimana kesenjangan ini mencerminkan ketidaksetaraan struktural dalam akses terhadap sumber daya akademik, termasuk akses terhadap konferensi internasional, publikasi, dan jaringan kolaborasi ilmiah.
Untuk memahami lebih dalam isu ini, penting untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan ini mungkin telah berkembang atau tetap stagnan dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, apakah lembaga-lembaga seperti International Association for the History of Religions (IAHR) telah berhasil mengurangi kesenjangan ini dengan cara yang signifikan? Bagaimana peran IAHR dalam menyediakan platform bagi para sarjana dari negara-negara berkembang untuk berpartisipasi dalam diskusi global? Di sisi lain, apakah masih ada hambatan yang signifikan yang menghalangi partisipasi mereka, seperti kendala finansial, bahasa, atau keterbatasan akses terhadap teknologi?
Analisis ini dapat mengarah pada rekomendasi untuk memperbaiki ketidaksetaraan akses dalam studi agama. Salah satu cara yang bisa diusulkan adalah dengan memperkuat dukungan finansial dan logistik bagi para sarjana dari negara-negara berkembang untuk menghadiri konferensi internasional atau untuk menerbitkan karya mereka di jurnal-jurnal bereputasi tinggi.
Eksplorasi Ide 'Global Vision' dalam Studi Agama
Jensen menggunakan istilah "global vision" untuk menggambarkan kebutuhan akan pemahaman yang lebih luas dan menyeluruh tentang studi agama secara global. Namun, ada ambiguitas dalam definisi yang ia berikan, apakah visi ini hanya berarti "overview" atau juga termasuk pandangan normatif tentang bagaimana studi agama seharusnya berkembang.
Untuk memperkaya diskusi ini, kita dapat mengeksplorasi bagaimana sebuah "global vision" dalam studi agama dapat diwujudkan secara nyata. Salah satu pendekatan yang bisa diambil adalah dengan mengembangkan kerangka kerja yang mengintegrasikan perspektif dari berbagai tradisi agama dan budaya ke dalam studi agama, tanpa mengorbankan objektivitas ilmiah. Misalnya, sebuah studi agama yang benar-benar global tidak hanya akan mengakui keragaman perspektif, tetapi juga akan berupaya untuk memasukkan suara-suara dari komunitas yang seringkali terpinggirkan dalam diskusi akademik.
Selain itu, "global vision" ini juga harus mencakup pengakuan terhadap dinamika kekuasaan yang sering mempengaruhi bagaimana pengetahuan tentang agama dibangun dan disebarluaskan. Misalnya, bagaimana hubungan antara pusat-pusat akademik di Barat dan wilayah-wilayah lain dalam konteks produksi dan distribusi pengetahuan? Dengan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat membantu membentuk sebuah visi global yang lebih inklusif dan adil dalam studi agama.
Peran IAHR dalam Mewujudkan Visi Global
International Association for the History of Religions (IAHR) digambarkan oleh Jensen sebagai organisasi yang memiliki potensi untuk menjadi institusi global utama dalam studi agama. Ia memuji IAHR karena telah berhasil memperluas basis keanggotaannya ke seluruh dunia, meskipun masih ada tantangan, seperti keterbatasan keuangan dan dominasi kepemimpinan dari Eropa Barat dan Amerika Utara.
Dalam analisis ini, penting untuk mengevaluasi lebih lanjut peran IAHR dalam mewujudkan visi global dalam studi agama. Apakah IAHR telah cukup inklusif dalam mengakomodasi perspektif dari berbagai budaya dan tradisi agama? Bagaimana IAHR dapat memperluas visinya untuk tidak hanya mencakup sarjana dari seluruh dunia, tetapi juga memastikan bahwa kontribusi mereka dihargai dan dianggap setara?
Salah satu saran yang bisa diberikan adalah dengan memperkuat representasi dari negara-negara berkembang dalam struktur kepemimpinan IAHR, serta meningkatkan dukungan bagi penelitian dan publikasi yang dilakukan oleh sarjana dari wilayah-wilayah ini. Selain itu, IAHR juga bisa lebih aktif dalam memfasilitasi dialog lintas budaya yang dapat memperkaya pemahaman tentang studi agama secara global.
Kritik terhadap Batasan antara Teologi dan Studi Agama
Salah satu tema utama dalam artikel ini adalah perdebatan tentang batasan antara teologi dan studi agama yang ilmiah. Jensen dan para kontributor lainnya menekankan pentingnya membedakan antara pendekatan teologis dan pendekatan ilmiah dalam studi agama. Namun, ia juga mengakui bahwa dalam banyak kasus, batasan ini menjadi kabur, terutama di wilayah-wilayah di luar Amerika Utara dan Eropa Barat.
Untuk memperdalam diskusi ini, kita bisa mengeksplorasi bagaimana batasan ini menjadi semakin kompleks di era kontemporer, terutama dengan berkembangnya pendekatan lintas disiplin yang sering kali menggabungkan elemen-elemen teologi, filsafat, dan ilmu sosial. Misalnya, bagaimana pendekatan-pendekatan baru seperti teologi publik atau teologi kontekstual dapat memperkaya studi agama, sambil tetap mempertahankan standar ilmiah yang ketat?
Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan implikasi dari perpaduan ini terhadap pengajaran dan penelitian dalam studi agama. Apakah perpaduan antara teologi dan studi agama ilmiah dapat menciptakan pendekatan yang lebih holistik dan relevan bagi konteks sosial yang berbeda? Atau apakah ini justru akan mengaburkan batasan yang penting untuk dipertahankan dalam menjaga objektivitas dan integritas akademik?
Rekomendasi untuk Pengembangan Studi Agama yang Inklusif
Berdasarkan analisis di atas, salah satu rekomendasi utama yang bisa diberikan adalah pentingnya mengembangkan studi agama yang lebih inklusif. Ini tidak hanya berarti mengakui keberagaman perspektif agama, tetapi juga mencakup berbagai konteks sosial, politik, dan budaya yang berbeda. Studi agama yang inklusif harus mampu menampung berbagai pendekatan metodologis dan teoretis, serta memberikan ruang bagi berbagai suara yang mungkin selama ini terpinggirkan.
Misalnya, bagaimana cara studi agama dapat lebih mengakomodasi perspektif dari masyarakat adat atau kelompok minoritas agama yang sering kali diabaikan dalam diskusi akademik? Selain itu, bagaimana studi agama dapat lebih berkontribusi dalam dialog antaragama yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan pemahaman lintas budaya?
Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara akademisi, praktisi agama, dan komunitas lokal. Ini juga berarti bahwa studi agama harus terus berkembang dengan merespons isu-isu sosial kontemporer, seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan keadilan sosial, yang sering kali terkait erat dengan praktik dan kepercayaan agama.
Kolaborasi Digital dalam Studi Agama
Sebagai bagian dari analisis yang lebih inovatif, kita bisa memperkenalkan gagasan baru tentang bagaimana teknologi digital dapat memainkan peran penting dalam menciptakan komunitas studi agama global yang lebih inklusif. Di era digital ini, platform online dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menghubungkan para sarjana dari berbagai belahan dunia, memungkinkan mereka untuk berbagi penelitian, ide, dan sumber daya secara lebih efisien.
Misalnya, bagaimana penggunaan platform digital dapat membantu mengatasi hambatan geografis dan finansial yang sering menghalangi kolaborasi internasional dalam studi agama? Bagaimana platform seperti jurnal online, konferensi virtual, dan jaringan sosial akademik dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog lintas budaya dan lintas agama yang lebih luas?
Dengan demikian, pengembangan teknologi digital dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk memperluas akses terhadap pengetahuan dan meningkatkan inklusivitas dalam studi agama. Namun, penting juga untuk mempertimbangkan tantangan yang mungkin muncul, seperti kesenjangan digital dan masalah keamanan data, serta bagaimana mengatasi tantangan tersebut untuk memastikan bahwa teknologi digital benar-benar dapat berkontribusi pada visi global dalam studi agama.
Jensen, T. (2009). Religious studies: A global view, vision, and mission. Religion, 39(4), 383–386. https://doi.org/10.1016/j.religion.2009.09.005
Print Version