Pengaruh Agama terhadap Kesehatan Lansia
Oleh. Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Agama telah lama diakui sebagai faktor penting yang memengaruhi kesejahteraan manusia, baik dalam konteks sosial maupun individual. Banyak penelitian telah menunjukkan bagaimana keterlibatan dalam aktivitas keagamaan dapat memberikan dukungan sosial, meningkatkan kesehatan mental, dan bahkan mempengaruhi kesehatan fisik. Artikel "Religion, Disability, Depression, and the Timing of Death" karya Ellen L. Idler dan Stanislav V. Kasl (1992) mengeksplorasi hubungan antara keterlibatan agama dengan status kesehatan lansia, khususnya di New Haven, Connecticut. Penelitian ini berfokus pada tiga aspek kesehatan utama: disabilitas fungsional, gejala depresi, dan mortalitas. Artikel ini menyoroti bahwa keterlibatan agama memiliki efek perlindungan yang signifikan terhadap disabilitas dan depresi, serta dapat mempengaruhi waktu kematian terkait dengan perayaan keagamaan.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis temuan Idler dan Kasl dari perspektif Studi Agama, dengan mempertimbangkan bagaimana agama memengaruhi kesehatan, peran ritual keagamaan dalam proses penyembuhan, serta dinamika sosial-keagamaan yang lebih luas yang mungkin memediasi hubungan ini.
Keterlibatan Agama dan Kesehatan Lansia
Penelitian Idler dan Kasl menunjukkan bahwa keterlibatan agama, baik publik maupun privat, berkontribusi pada kesehatan lansia. Keterlibatan publik, yang mencakup kehadiran dalam layanan keagamaan dan partisipasi aktif dalam kehidupan sosial kongregasi, terkait erat dengan perbaikan kemampuan fungsional dan kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebaliknya, keterlibatan agama yang bersifat privat, seperti perasaan religius yang mendalam dan mendapatkan kekuatan serta kenyamanan dari agama, juga menunjukkan efek perlindungan terhadap depresi, terutama pada pria yang baru mengalami disabilitas.
Temuan ini mengindikasikan bahwa agama memainkan peran signifikan dalam mendukung kesehatan fisik dan mental lansia. Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa manfaat dari keterlibatan agama tidaklah seragam di semua kelompok agama. Efek positif yang kuat terlihat di antara umat Katolik dan Yahudi, sementara di kalangan Protestan, terutama Protestan kulit putih, efek tersebut lebih lemah atau tidak ada sama sekali. Ini menimbulkan pertanyaan penting: faktor-faktor apa yang membuat pengalaman agama tertentu lebih protektif dibandingkan yang lain?
Perspektif Durkheimian dan Keterbatasannya
Penelitian ini menggunakan pendekatan Durkheimian untuk menganalisis peran agama dalam kesehatan, yang melihat agama sebagai kekuatan sosial yang memberikan dukungan material dan moral kepada individu. Durkheim berpendapat bahwa agama berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan individu dengan kelompok sosial yang lebih luas, menyediakan jaringan sosial yang kuat yang dapat menawarkan dukungan di saat-saat krisis.
Meskipun pendekatan ini berguna dalam menjelaskan mengapa agama dapat memiliki efek protektif terhadap disabilitas dan depresi, pendekatan ini mungkin tidak cukup untuk menjelaskan nuansa yang ditemukan dalam penelitian ini, terutama dalam hal perbedaan pengaruh agama terhadap kesehatan di antara berbagai denominasi Kristen. Misalnya, pendekatan Durkheim tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa umat Katolik dan Yahudi memperoleh manfaat kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan Protestan. Apakah karena struktur sosial komunitas keagamaan mereka yang lebih terintegrasi, atau ada faktor lain yang berperan?
Selain itu, meskipun artikel ini menyoroti pentingnya pengalaman religius pribadi, pendekatan Durkheimian cenderung lebih fokus pada aspek sosial dari agama dan kurang memperhatikan dimensi teologis atau spiritual yang mungkin sangat relevan dalam menjelaskan bagaimana agama mempengaruhi kesehatan individu. Pendekatan yang lebih mendalam terhadap dimensi teologis, seperti pandangan agama tentang penderitaan, kematian, dan kehidupan setelah kematian, bisa memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana agama mempengaruhi cara individu mengatasi penyakit atau disabilitas.
Peran Ritual Keagamaan
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bagaimana ritual keagamaan mempengaruhi kesehatan dan waktu kematian. Penulis menemukan bahwa keterlibatan dalam kelompok agama melindungi penganut Kristen dan Yahudi dari kematian di sekitar waktu perayaan keagamaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ritual keagamaan dapat memiliki efek psikologis dan sosial yang signifikan yang memperpanjang kehidupan.
Durkheim berpendapat bahwa ritual adalah manifestasi kolektif dari sentimen sosial yang memperkuat ikatan antara individu dan kelompok. Ritual juga memberikan orientasi sosial-temporal bagi individu, memungkinkan mereka untuk mengetahui posisi mereka dalam waktu dan sejarah. Dari perspektif ini, perayaan keagamaan tahunan seperti Natal, Paskah, Rosh Hashanah, dan Yom Kippur tidak hanya memperingati peristiwa sejarah religius, tetapi juga memperkuat identitas kelompok dan memberikan kenyamanan spiritual kepada individu, terutama di saat mereka menghadapi akhir kehidupan.
Namun, penting untuk mempertimbangkan bahwa pengaruh ritual keagamaan ini mungkin berbeda di antara individu dan kelompok agama yang berbeda. Misalnya, penulis menemukan bahwa laki-laki Yahudi lebih cenderung menunjukkan pola pengurangan kematian sebelum hari libur Yahudi dibandingkan dengan perempuan Yahudi. Ini menunjukkan bahwa signifikansi ritual mungkin berbeda berdasarkan gender, dengan laki-laki mungkin memiliki investasi psikososial yang lebih besar dalam perayaan-perayaan tersebut.
Kritik dan Saran
Meskipun artikel ini memberikan wawasan yang berguna tentang peran agama dalam kesehatan lansia, beberapa kritik dapat diajukan. Pertama, artikel ini cenderung mengabaikan dimensi teologis dan spiritualitas yang lebih mendalam yang mungkin sangat relevan dalam konteks agama. Mengapa keyakinan dan praktik tertentu dalam agama tertentu lebih efektif dalam mempromosikan kesehatan dibandingkan dengan yang lain? Bagaimana interpretasi teologis tentang penderitaan dan penyembuhan berperan dalam cara individu merespons penyakit dan disabilitas?
Kedua, kurangnya perhatian pada dinamika interseksi antara agama dan faktor-faktor sosial lain seperti kelas sosial, etnisitas, dan akses terhadap layanan kesehatan merupakan kelemahan lain dari studi ini. Meskipun penelitian ini mengendalikan variabel demografis, pendekatan yang lebih holistik yang mempertimbangkan bagaimana agama berinteraksi dengan faktor-faktor ini dalam konteks sosial yang lebih luas akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.
Ketiga, pentingnya mempertimbangkan variasi internal dalam agama, baik dalam hal denominasi maupun dalam intensitas keterlibatan religius. Sebagai contoh, dalam denominasi Protestan, terdapat perbedaan signifikan antara pengalaman religius orang Protestan kulit putih dan Protestan kulit hitam, yang mungkin mencerminkan perbedaan dalam struktur sosial, tingkat komunitas, dan sejarah.
Kesimpulan
Agama, dengan segala kompleksitasnya, memainkan peran signifikan dalam kesehatan mental dan fisik lansia. Penelitian Idler dan Kasl menunjukkan bahwa keterlibatan agama, terutama dalam konteks ritual dan keterlibatan sosial, memiliki efek perlindungan terhadap disabilitas dan depresi, serta dapat mempengaruhi waktu kematian. Dari perspektif Studi Agama, temuan ini menyoroti pentingnya memahami agama tidak hanya sebagai fenomena sosial, tetapi juga sebagai sistem keyakinan dan praktik yang kompleks yang mempengaruhi kesejahteraan individu dengan cara yang sangat pribadi dan spiritual.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana dimensi teologis dan spiritualitas yang lebih mendalam mempengaruhi kesehatan, serta bagaimana interseksi antara agama dan faktor-faktor sosial lain dapat memperkaya pemahaman kita tentang peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, Studi Agama dapat berkontribusi lebih jauh dalam memperkaya analisis tentang bagaimana agama mempengaruhi kesejahteraan manusia di tingkat individu maupun komunitas.
Referensi,
Idler, E., & Kasl, S. (1991). Religion, Disability, Depression, and the Timing of Death. American Journal of Sociology, 97, 1052 - 1079. https://doi.org/10.1086/229861.
Print Version