Menegosiasikan Identitas bagi Penganut Agama dari Latar Belakang Muslim dan Hindu
Oleh Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Artikel "Negotiating Identity: Extending and Applying Alan Tippett’s Model of Conversion to Believers from Muslim and Hindu Backgrounds" (2015) oleh Richard Y. Hibbert ini berfokus pada konsep negosiasi identitas bagi mereka yang berpindah agama, khususnya dari latar belakang Muslim dan Hindu ke Kristen, dengan memperluas model konversi yang dikembangkan oleh Alan Tippett. Penulis, Richard Hibbert, menekankan pentingnya memahami proses konversi sebagai fenomena yang tidak sekadar peralihan keyakinan, tetapi juga perjalanan negosiasi identitas yang kompleks. Melalui studi ini, diuraikan bahwa tantangan utama bagi individu dari latar belakang Muslim dan Hindu dalam beralih ke Kristen melibatkan tekanan sosial, budaya, dan identitas. Artikel ini menggabungkan studi kasus dari berbagai negara, termasuk Timur Tengah, Afrika Barat, Bangladesh, dan India, untuk menggambarkan proses ini.
Analisis dan Kritik dari Perspektif Studi Agama
1. Model Konversi Alan Tippett dalam Perspektif Negosiasi Identitas
Model konversi yang dikembangkan oleh Alan Tippett memandang konversi sebagai proses bertahap yang melibatkan beberapa fase: kesadaran, keputusan, inkorporasi, dan kematangan. Hibbert mengakui bahwa model ini bermanfaat untuk menggambarkan perjalanan spiritual seseorang, tetapi dalam konteks Muslim dan Hindu yang berpindah ke Kristen, ada elemen penting yang kurang diperhatikan, yaitu negosiasi identitas.
Negosiasi identitas sangat relevan dalam studi agama, terutama karena konversi agama sering kali melibatkan pergeseran identitas sosial dan budaya yang signifikan. Misalnya, dalam komunitas Muslim, agama dan identitas etnis sering kali saling terkait, sehingga berpindah agama dianggap sebagai pengkhianatan terhadap keluarga dan budaya. Artikel ini menunjukkan bagaimana Tippett, dalam model aslinya, cenderung menekankan aspek teologis dan spiritual konversi, tetapi gagal memperhitungkan bagaimana tekanan sosial dan identitas budaya dapat memengaruhi proses konversi tersebut.
Kritik: Artikel ini berhasil menambahkan dimensi baru pada model Tippett dengan memperkenalkan fase negosiasi identitas, tetapi ada kekurangan dalam memberikan panduan praktis tentang bagaimana negosiasi ini dapat didukung oleh komunitas keagamaan. Misalnya, bagaimana gereja dapat menyediakan ruang aman bagi individu yang sedang dalam proses negosiasi identitas tanpa mendorong mereka untuk sepenuhnya melepaskan budaya asal mereka? Panduan yang lebih praktis dalam hal ini akan memperkuat analisis.
2. Tantangan Sosial dan Budaya dalam Konversi
Artikel ini menyoroti bahwa bagi mereka yang berasal dari latar belakang Muslim dan Hindu, konversi ke Kristen tidak hanya berarti pergeseran keyakinan religius, tetapi juga sering kali menuntut pergeseran identitas sosial. Dalam masyarakat kolektivis, seperti yang ditemukan di banyak komunitas Muslim dan Hindu, agama adalah bagian integral dari identitas kelompok. Oleh karena itu, ketika seorang individu berpindah agama, sering kali mereka mengalami penolakan dari keluarga dan komunitas.
Hibbert menjelaskan bahwa salah satu opsi bagi mereka yang berpindah agama adalah menyembunyikan identitas Kristen mereka di depan komunitas asal mereka untuk menghindari tekanan atau pengucilan. Namun, strategi ini menghadirkan dilema identitas yang mendalam, di mana individu merasa terpecah antara kesetiaan terhadap keluarga dan komitmen baru mereka pada iman Kristen.
Kritik: Meskipun artikel ini memberikan gambaran yang mendalam tentang tantangan sosial yang dihadapi oleh konvert, ada kekurangan dalam menawarkan solusi jangka panjang untuk membantu individu tersebut menemukan keseimbangan antara identitas agama baru mereka dan hubungan sosial mereka. Selain itu, tidak ada analisis mendalam tentang bagaimana negosiasi identitas ini dapat dipengaruhi oleh gender, yang merupakan faktor penting dalam banyak komunitas keagamaan.
3. Konversi sebagai Proses Kolektif atau Individual
Tippett dalam modelnya mengakui bahwa konversi sering kali terjadi secara kolektif, di mana seluruh komunitas atau keluarga dapat berpindah agama secara bersama-sama. Namun, bagi individu dari latar belakang Muslim dan Hindu yang berpindah ke Kristen, artikel ini menunjukkan bahwa mereka sering kali menjadi satu-satunya anggota keluarga yang berpindah agama. Hal ini menciptakan tantangan unik, di mana mereka harus bernegosiasi dengan identitas mereka secara mandiri tanpa dukungan komunitas.
Dari perspektif studi agama, aspek kolektivitas dalam konversi sangat penting. Agama, terutama dalam masyarakat yang kolektivis, bukan hanya tentang hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga tentang hubungan sosial dengan komunitas. Artikel ini menyadari bahwa tanpa komunitas yang mendukung, individu yang berpindah agama dapat merasa terasing dan kehilangan rasa memiliki.
Kritik: Artikel ini dapat diperkaya dengan mengeksplorasi lebih dalam peran komunitas agama dalam mendukung konversi individu. Misalnya, bagaimana komunitas Kristen dapat lebih responsif terhadap kebutuhan sosial dan emosional konvert yang berasal dari latar belakang kolektivis? Selain itu, ada kekurangan dalam membahas bagaimana konsep kolektivitas ini berbeda di berbagai budaya dan agama.
4. Relasi antara Identitas Agama dan Budaya
Hibbert dengan tepat menyoroti bahwa bagi banyak orang, identitas agama dan identitas budaya saling terkait erat. Misalnya, dalam beberapa budaya Muslim, menjadi Muslim tidak hanya dilihat sebagai pilihan spiritual tetapi juga sebagai ekspresi identitas etnis. Artikel ini memberikan contoh dari India, di mana gereja sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya Barat, yang membuat konversi ke Kristen tampak seperti penolakan terhadap warisan budaya lokal.
Dari perspektif studi agama, ini adalah salah satu tantangan utama dalam negosiasi identitas agama. Ketika agama dipandang sebagai identitas budaya, konversi agama tidak hanya menuntut perubahan keyakinan tetapi juga memerlukan perombakan identitas budaya individu. Dalam hal ini, negosiasi identitas menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa individu tidak merasa teralienasi dari kedua komunitas.
Kritik: Artikel ini menyoroti masalah ini dengan baik, tetapi kurang menawarkan solusi konkret untuk membantu individu mempertahankan elemen-elemen penting dari identitas budaya mereka sambil mengadopsi identitas agama baru. Solusi kontekstual yang memungkinkan individu untuk terus terhubung dengan komunitas asal mereka sambil menjalani keyakinan baru mereka akan sangat bermanfaat dalam pembahasan ini.
Kesimpulan
Artikel "Negotiating Identity" berhasil memperluas model konversi yang dikembangkan oleh Alan Tippett dengan memperkenalkan konsep negosiasi identitas. Ini adalah kontribusi yang signifikan dalam studi agama, terutama dalam konteks konversi dari Islam dan Hindu ke Kristen, di mana identitas sosial dan agama sering kali tidak dapat dipisahkan. Hibbert secara efektif menunjukkan bahwa konversi bukan hanya pergeseran spiritual, tetapi juga melibatkan negosiasi identitas sosial dan budaya yang kompleks.
Namun, artikel ini dapat ditingkatkan dengan lebih banyak menawarkan solusi praktis dan strategi untuk membantu individu yang berpindah agama menavigasi tantangan sosial dan budaya yang mereka hadapi. Meskipun artikel ini memberikan wawasan yang kaya tentang proses negosiasi identitas, penambahan studi kasus lebih lanjut dan pendekatan berbasis komunitas akan memperkuat analisis dan relevansinya dalam konteks global yang lebih luas.
Referensi
Hibbert, R. Y. (2015). Negotiating identity: Extending and applying Alan Tippett’s model of conversion to believers from Muslim and Hindu backgrounds. Missiology, 43(1), 59-72.
Print Version