Mendekolonisasi Studi Agama di Era Digital
Oleh. Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Studi agama sebagai sebuah disiplin akademik telah mengalami evolusi signifikan sejak kemunculannya di era kolonial. Malory Nye (2019) dalam artikelnya "Decolonizing the Study of Religion" menggarisbawahi bagaimana warisan kolonial masih mempengaruhi pendekatan terhadap studi agama hingga saat ini. Nye berpendapat bahwa untuk benar-benar mendekolonisasi studi agama, diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita memahami, mengajar, dan meneliti agama.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, studi agama juga memasuki era baru: era digital. Era ini membawa tantangan dan peluang baru bagi upaya dekolonisasi, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang kolonialisme dan keberagaman agama yang kompleks. Artikel ini akan mengembangkan analisis yang diberikan oleh Nye dengan menempatkannya dalam konteks era digital dan memberikan perspektif keindonesiaan yang relevan.
Dekolonisasi Studi Agama: Sebuah Tinjauan Kritis
Studi agama telah lama didominasi oleh kerangka pemikiran yang dikembangkan di Barat, sering kali tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan pengalaman masyarakat non-Barat. Nye menunjukkan bahwa banyak konsep dasar dalam studi agama, seperti "agama" itu sendiri, berasal dari perspektif kolonial yang memisahkan dunia menjadi "Barat" yang modern dan rasional dan "Timur" yang tradisional dan mistis. Dalam konteks ini, dekolonisasi studi agama menjadi sangat penting untuk menggali kembali dan mengakui perspektif-perspektif lokal yang telah lama terpinggirkan.
Di Indonesia, pengaruh kolonialisme dalam studi agama terlihat dalam cara agama-agama lokal diatur, dipelajari, dan diajarkan. Pemerintah kolonial Belanda, misalnya, sering kali memandang agama-agama di Nusantara melalui lensa hukum dan politik kolonial, yang menciptakan hierarki dan klasifikasi yang tidak selalu sesuai dengan realitas lokal. Dekolonisasi dalam konteks ini berarti merumuskan ulang pemahaman kita tentang agama dengan mengakui kekayaan dan keragaman tradisi keagamaan di Indonesia.
Era Digital dan Transformasi Studi Agama
Dengan munculnya era digital, studi agama mengalami transformasi yang signifikan. Teknologi digital telah membuka ruang baru untuk eksplorasi keagamaan, baik dalam hal praktik keagamaan maupun penelitian akademik. Media sosial, platform video, dan berbagai bentuk komunikasi digital lainnya telah mengubah cara orang berinteraksi dengan agama dan spiritualitas. Ini juga membawa tantangan baru dalam upaya mendekolonisasi studi agama.
-
Digitalisasi dan Akses Pengetahuan: Era digital memungkinkan akses yang lebih luas terhadap pengetahuan, termasuk literatur dan sumber daya agama. Namun, akses ini tidak selalu merata. Banyak konten agama yang tersedia secara digital masih didominasi oleh perspektif Barat, terutama dalam bahasa Inggris. Untuk mendekolonisasi studi agama di era digital, perlu ada upaya untuk meningkatkan akses terhadap sumber daya lokal dan konten yang relevan dalam bahasa dan perspektif yang beragam. Ini termasuk digitalisasi naskah-naskah keagamaan lokal, tradisi lisan, dan bentuk-bentuk ekspresi keagamaan lainnya yang mungkin terpinggirkan dalam ruang digital global.
-
Kolonialisme Digital dan Representasi Agama: Kolonialisme digital adalah fenomena di mana teknologi dan platform digital, yang sering kali dikembangkan dan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Barat, mendominasi representasi dan interpretasi agama di ruang digital. Representasi agama-agama non-Barat di media digital sering kali dibingkai oleh stereotip dan bias yang berakar dari warisan kolonial. Upaya dekolonisasi dalam konteks ini melibatkan penciptaan ruang digital yang lebih inklusif dan representatif, di mana agama-agama lokal dan perspektif non-Barat dapat diekspresikan dan dipelajari dengan cara yang lebih autentik.
-
Digitalisasi Ritual dan Keberagaman Agama di Indonesia: Di Indonesia, era digital telah membawa perubahan dalam cara agama dipraktikkan. Misalnya, banyak ritual dan upacara keagamaan yang kini disiarkan secara online, memungkinkan partisipasi yang lebih luas dari komunitas yang tersebar di berbagai lokasi. Namun, digitalisasi ini juga dapat menimbulkan tantangan dalam hal otentisitas dan interpretasi. Untuk mendekolonisasi studi agama di era digital, penting untuk memahami bagaimana teknologi mempengaruhi praktik keagamaan lokal dan bagaimana komunitas-komunitas agama di Indonesia merespons dan menyesuaikan diri dengan perubahan ini.
Pendekatan Keindonesiaan dalam Studi Agama di Era Digital
Pendekatan keindonesiaan dalam studi agama di era digital melibatkan pengakuan terhadap pluralitas agama di Indonesia dan penerapan teknologi digital untuk mendukung keberagaman tersebut. Ini termasuk:
-
Mengembangkan Konten Digital Berbasis Lokal: Peningkatan akses terhadap sumber daya agama yang berasal dari Indonesia adalah langkah penting dalam dekolonisasi studi agama. Digitalisasi dan penyebaran teks-teks keagamaan lokal, serta dokumentasi dan pembelajaran tradisi lisan, dapat membantu dalam memperkuat identitas dan warisan keagamaan lokal. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan dapat bekerja sama untuk menciptakan platform digital yang menyediakan konten ini dengan cara yang mudah diakses dan relevan bagi masyarakat.
-
Kolaborasi Antar-Agama dalam Ruang Digital: Era digital juga membuka peluang untuk kolaborasi antar-agama di Indonesia. Dengan menggunakan platform digital, komunitas-komunitas agama dapat berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik dengan cara yang lebih terbuka dan inklusif. Ini dapat menciptakan ruang dialog yang lebih luas dan membantu mengurangi ketegangan antar-agama dengan memperkuat pemahaman dan toleransi.
-
Pendidikan Agama yang Inklusif dan Adaptif: Dalam era digital, pendidikan agama di Indonesia harus lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan teknologi. Kurikulum pendidikan agama perlu diperbarui untuk mencerminkan realitas digital dan mengintegrasikan alat-alat digital sebagai bagian dari proses pembelajaran. Ini juga harus mencakup pendekatan yang lebih holistik terhadap agama, yang menghargai keberagaman dan menghindari stereotip yang mungkin diabadikan oleh media digital.
Dekolonisasi studi agama di era digital adalah tantangan yang kompleks namun penting, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang kolonialisme dan keberagaman agama yang kaya. Teknologi digital menawarkan peluang untuk memperluas akses dan pemahaman tentang agama, tetapi juga membawa risiko terjadinya kolonialisme digital. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis lokal, Indonesia dapat memimpin upaya dekolonisasi studi agama dalam era digital, menciptakan ruang yang lebih adil dan representatif bagi semua tradisi keagamaan.
Dengan demikian, pendekatan keindonesiaan dalam studi agama di era digital tidak hanya akan memperkaya pemahaman kita tentang agama, tetapi juga akan membantu menciptakan ruang yang lebih inklusif, di mana semua tradisi dan perspektif agama dapat dihargai dan dipelajari dengan cara yang adil dan setara.
Referensi
- Nye, Malory. “Decolonizing the Study of Religion.” Open Library of Humanities, vol. 5, no. 1, 2019, pp. 43-72. DOI: https://doi.org/10.16995/olh.421
Print Version