Identitas versus keterbukaan dalam Dialog antar agama
Oleh Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Artikel berjudul "Interreligious Dialogue: Identity versus Openness" (2021) oleh Petrov George Daniel dan Pleșa Victor Marius membahas ketegangan antara identitas keagamaan dan keterbukaan dalam dialog antaragama. Artikel ini berfokus pada bagaimana berbagai teolog, terutama yang dari latar belakang Kristen, mendekati dialog antaragama, baik dari perspektif eksklusivisme maupun inklusivisme. Artikel ini juga mengeksplorasi bagaimana identitas keagamaan sering kali menjadi penghalang dalam mencapai dialog yang produktif, dengan menyoroti berbagai tantangan yang muncul ketika agama-agama yang berbeda berusaha untuk terlibat dalam dialog.
Analisis dari Perspektif Studi Agama
1. Eksklusivisme dan Tantangan dalam Dialog Antaragama
Eksklusivisme teologis, seperti yang dijelaskan dalam artikel, adalah posisi yang menolak kemungkinan kebenaran di luar tradisi keagamaan sendiri. Dalam konteks Kristen, ini sering dikaitkan dengan keyakinan bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui Yesus Kristus, yang kemudian menimbulkan kesulitan dalam dialog antaragama karena sulitnya menerima validitas teologi agama lain.
Dari perspektif studi agama, pendekatan eksklusivis ini menciptakan batas-batas teologis yang kaku, yang pada akhirnya menghambat dialog yang konstruktif. Identitas keagamaan yang dibangun di atas prinsip eksklusivisme cenderung defensif dan tidak terbuka terhadap pemahaman baru yang mungkin muncul melalui interaksi dengan tradisi keagamaan lain. Pendekatan ini berpotensi memperkuat prasangka dan stereotip negatif, serta menghambat upaya untuk mencapai pemahaman bersama dalam isu-isu moral dan etika yang mendesak.
Kritik: Artikel ini berhasil menjelaskan eksklusivisme sebagai tantangan utama dalam dialog antaragama, tetapi kurang mendalami bagaimana komunitas agama dapat mulai mengatasi hambatan ini. Diskusi tentang bagaimana eksklusivisme dapat dilunakkan melalui pendekatan dialog yang lebih inklusif, tanpa harus mengorbankan identitas keagamaan, akan memperkaya analisis ini.
2. Inklusivisme dan Potensi untuk Dialog Antaragama yang Lebih Terbuka
Artikel ini juga mengeksplorasi inklusivisme sebagai pendekatan yang berusaha untuk mengakui nilai-nilai kebenaran dalam agama-agama lain sambil tetap mempertahankan keyakinan bahwa kebenaran penuh ada dalam tradisi keagamaan sendiri. Inklusivisme memungkinkan adanya keterbukaan dalam dialog tanpa kehilangan identitas keagamaan, tetapi juga menghadapi tantangan dalam bagaimana kebenaran agama lain diakui dan dihargai.
Dari perspektif studi agama, inklusivisme menawarkan jalan tengah yang dapat mendukung dialog antaragama yang lebih produktif. Pendekatan ini memungkinkan adanya pengakuan terhadap pluralisme agama, tanpa harus menyerah pada relativisme teologis. Namun, inklusivisme juga harus diimplementasikan dengan hati-hati agar tidak jatuh ke dalam sikap yang meremehkan atau mereduksi agama lain sebagai hanya bagian dari kebenaran yang lebih besar.
Kritik: Artikel ini menyajikan inklusivisme sebagai alternatif yang lebih baik dibandingkan eksklusivisme, tetapi kurang mengkaji bagaimana inklusivisme dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan dialog yang benar-benar setara dan menghargai perbedaan. Studi kasus atau contoh nyata dari dialog inklusif yang berhasil akan sangat membantu dalam menggambarkan potensi pendekatan ini.
3. Ketegangan antara Identitas dan Keterbukaan dalam Dialog Antaragama
Salah satu poin utama dalam artikel ini adalah ketegangan antara identitas keagamaan dan keterbukaan dalam dialog antaragama. Identitas yang kuat sering kali dilihat sebagai penghalang bagi keterbukaan, karena takut akan kehilangan esensi keagamaan yang mendefinisikan komunitas tersebut. Namun, artikel ini juga menekankan bahwa keterbukaan tidak harus berarti mengorbankan identitas, tetapi dapat dilihat sebagai cara untuk memperkaya pemahaman diri melalui interaksi dengan yang lain.
Dari perspektif studi agama, ketegangan ini sangat relevan dalam konteks pluralisme agama modern. Identitas keagamaan yang solid memang penting, tetapi keterbukaan terhadap dialog memungkinkan adanya pertukaran yang dapat memperdalam pemahaman agama sendiri dan orang lain. Artikel ini menyoroti bahwa keberhasilan dialog antaragama terletak pada kemampuan untuk menemukan keseimbangan antara mempertahankan identitas dan keterbukaan terhadap pandangan lain.
Kritik: Meskipun artikel ini mengakui pentingnya keseimbangan antara identitas dan keterbukaan, kurang ada pembahasan tentang bagaimana keseimbangan ini dapat dicapai dalam praktik. Strategi praktis atau metodologi untuk mencapai keseimbangan ini akan sangat berharga, terutama dalam konteks dialog antaragama yang melibatkan komunitas dengan keyakinan yang sangat berbeda.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan wawasan yang berharga tentang dinamika dialog antaragama, khususnya dalam konteks ketegangan antara identitas dan keterbukaan. Melalui analisis eksklusivisme dan inklusivisme, artikel ini berhasil mengidentifikasi tantangan dan peluang yang ada dalam upaya untuk menciptakan dialog antaragama yang produktif.
Dari perspektif studi agama, pendekatan yang lebih inklusif dan terbuka dalam dialog antaragama tidak hanya memungkinkan adanya pertukaran pemahaman yang lebih dalam, tetapi juga dapat berkontribusi pada pengembangan teologi yang lebih responsif terhadap realitas pluralisme agama. Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan strategi yang jelas dan metodologi yang dapat membantu komunitas agama untuk mengatasi hambatan identitas dan membuka diri terhadap dialog yang konstruktif.
Artikel ini dapat ditingkatkan dengan menambahkan analisis yang lebih mendalam tentang bagaimana strategi-strategi ini dapat diterapkan dalam konteks nyata, serta bagaimana berbagai tradisi keagamaan dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan dialog yang lebih inklusif dan produktif.
Referensi
Daniel, P. G., & Marius, P. V. (2021). Interreligious dialogue: Identity versus openness. Technium Soc. Sci. J., 25, 749.
Print Version