Agama dan Ancaman Perubahan Iklim
Oleh Dr. Samsul Hidayat, MA
Dosen Prodi Studi Agama-Agama IAIN Pontianak
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia pada abad ke-21. Dampaknya yang meluas dan kompleks mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan alam hingga kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Di tengah tantangan ini, agama muncul sebagai salah satu institusi sosial yang memiliki potensi signifikan dalam mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat terkait perubahan iklim. Agama, sebagai salah satu institusi sosial tertua dan paling berpengaruh, mencakup lebih dari dua pertiga populasi dunia, dan memiliki kapasitas untuk membentuk pandangan dunia, etika, dan tindakan para penganutnya.
Artikel "Religion and Climate Change: Varieties in Viewpoints and Practices" (2014) oleh Randolph Haluza-DeLay memberikan analisis mendalam tentang bagaimana berbagai agama merespons isu perubahan iklim. Artikel ini menekankan bahwa agama tidak dapat dipandang sebagai entitas tunggal atau monolitik, mengingat adanya keragaman dalam keyakinan, praktik, dan institusi keagamaan. Melalui analisis ini, artikel ini mengkaji keterlibatan agama-agama dunia dalam isu perubahan iklim dan menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi dalam proses tersebut.
Keterlibatan Agama dalam Isu Perubahan Iklim
Agama telah lama dianggap sebagai salah satu sumber utama nilai-nilai, etika, dan motivasi moral. Dalam konteks perubahan iklim, agama-agama dunia mulai memperhatikan isu ini, meskipun keterlibatannya masih sangat bervariasi. Sebagian besar studi tentang hubungan antara agama dan perubahan iklim bersifat teologis, pastoral, atau normatif, dengan tujuan utama untuk menggerakkan penganut agama agar peduli terhadap lingkungan. Sebagai contoh, beberapa agama mempromosikan konsep teologis seperti stewardship (pengelolaan alam) dalam Kristen, atau ahimsa (tanpa kekerasan) dalam Hindu, sebagai dasar etika lingkungan yang kuat.
Namun, artikel ini juga menyoroti adanya ambivalensi dalam keterlibatan agama dengan perubahan iklim. Di satu sisi, banyak kelompok agama yang secara aktif terlibat dalam gerakan keadilan iklim, bekerja sama dengan organisasi global dan masyarakat sipil. Misalnya, Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches) telah lama mendukung inisiatif-inisiatif untuk keadilan iklim dan mendorong tindakan konkret untuk mitigasi perubahan iklim. Di sisi lain, beberapa kelompok agama, terutama di Amerika Serikat, justru menunjukkan sikap skeptis atau bahkan penolakan terhadap perubahan iklim. Sikap ini seringkali didasarkan pada interpretasi teologis tertentu, seperti keyakinan akan kedatangan akhir zaman atau pandangan yang menolak sains modern.
Artikel ini juga menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih empiris dan sosial dalam memahami keterlibatan agama dengan perubahan iklim. Sementara banyak penelitian sebelumnya lebih fokus pada argumen teologis atau normatif, studi-studi terbaru mulai mengeksplorasi apa yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok-kelompok agama dalam menanggapi perubahan iklim. Hal ini mencakup analisis terhadap pandangan dunia agama, praktik-praktik kolektif, dan bagaimana agama-agama berfungsi sebagai institusi sosial yang berperan dalam membentuk respons masyarakat terhadap perubahan iklim.
Keragaman Respons Agama terhadap Perubahan Iklim
Salah satu poin utama yang diangkat dalam artikel ini adalah keragaman respons agama-agama terhadap perubahan iklim. Keragaman ini mencerminkan perbedaan dalam pandangan dunia, keyakinan teologis, dan struktur sosial agama-agama tersebut. Misalnya, dalam konteks agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi), terdapat kecenderungan untuk melihat alam sebagai ciptaan Tuhan yang harus dijaga, namun dengan cara yang sangat bervariasi antara satu denominasi dengan denominasi lainnya.
Sebagai contoh, dalam Kristen, konsep stewardship atau pengelolaan alam sering kali digunakan sebagai dasar untuk mendorong tindakan lingkungan. Konsep ini berakar pada keyakinan bahwa manusia diberi mandat oleh Tuhan untuk mengelola bumi dengan bijaksana. Namun, interpretasi konsep ini dapat sangat bervariasi. Sementara beberapa denominasi, seperti Katolik dan beberapa kelompok Protestan, mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif dalam isu lingkungan, ada juga kelompok-kelompok lain yang lebih menekankan pada dominasi manusia atas alam, yang dapat mengarah pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
Dalam Islam, konsep khalifah (wakil Tuhan di bumi) sering diangkat sebagai dasar etika lingkungan. Umat Islam diajarkan untuk menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari tanggung jawab mereka sebagai khalifah. Meskipun demikian, implementasi konsep ini dalam praktik nyata juga sangat bervariasi di berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia, tergantung pada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang mempengaruhi masyarakat tersebut.
Selain itu, artikel ini juga mengangkat contoh dari agama-agama Asia seperti Buddhisme dan Hindu. Dalam Buddhisme, ajaran tentang keharmonisan dengan alam dan penghindaran dari penderitaan semua makhluk hidup telah mempengaruhi pandangan para penganutnya terhadap lingkungan. Namun, seperti yang dicatat dalam artikel, Buddhisme tidak memiliki otoritas pusat yang tunggal, sehingga interpretasi dan implementasi ajaran lingkungan dapat sangat beragam, tergantung pada konteks budaya dan geografis di mana agama ini dipraktikkan.
Analisis dan Kritik Perspektif Studi Agama
Dari perspektif Studi Agama, artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana agama dapat memainkan peran dalam menanggapi isu-isu global seperti perubahan iklim. Namun, ada beberapa aspek yang perlu dikritisi dan diperluas.
Pertama, artikel ini menunjukkan bahwa agama memiliki potensi besar untuk memobilisasi tindakan kolektif dalam menanggapi perubahan iklim. Agama dapat menawarkan pandangan dunia dan etika yang memotivasi tindakan perlindungan lingkungan. Namun, perlu dicatat bahwa potensi ini sering kali terhambat oleh faktor-faktor internal dalam agama itu sendiri, seperti interpretasi teologis yang berbeda-beda dan struktur sosial yang tidak selalu mendukung tindakan kolektif yang efektif. Misalnya, dalam beberapa tradisi agama, interpretasi literal terhadap kitab suci atau pandangan yang fatalistik terhadap dunia dapat menghalangi tindakan proaktif terhadap perubahan iklim.
Kedua, meskipun artikel ini menyoroti keragaman pandangan dan praktik keagamaan terkait perubahan iklim, analisisnya kurang mendalam dalam mengeksplorasi dimensi teologis dari respons keagamaan terhadap isu ini. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana keyakinan teologis yang spesifik dalam setiap tradisi agama mempengaruhi cara penganutnya merespons perubahan iklim. Misalnya, bagaimana pandangan tentang akhir zaman dalam Kristen Evangelis mempengaruhi sikap terhadap perubahan iklim? Atau bagaimana konsep karma dalam Hindu mempengaruhi tindakan terhadap lingkungan?
Ketiga, artikel ini kurang menyoroti bagaimana interaksi antara agama dan faktor-faktor sosial lainnya, seperti politik dan ekonomi, dapat mempengaruhi keterlibatan agama dalam isu perubahan iklim. Agama tidak berdiri sendiri; ia selalu berinteraksi dengan kekuatan sosial lainnya. Sebagai contoh, keterlibatan gereja Katolik dalam isu perubahan iklim sering kali dipengaruhi oleh posisi politik dan ekonomi Vatikan di panggung dunia. Demikian juga, respon komunitas Muslim terhadap perubahan iklim di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan dinamika ekonomi lokal.
Kesimpulan
Agama, dengan segala kompleksitas dan keragamannya, memainkan peran signifikan dalam isu perubahan iklim. Artikel "Religion and Climate Change: Varieties in Viewpoints and Practices" memberikan pandangan yang kaya tentang bagaimana agama-agama dunia merespons tantangan global ini. Dari perspektif Studi Agama, penting untuk menyadari bahwa agama tidak dapat dipandang sebagai entitas tunggal yang responsnya terhadap perubahan iklim bisa disamaratakan. Sebaliknya, respon tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk keyakinan teologis, struktur sosial, dan konteks budaya.
Untuk memahami peran agama dalam perubahan iklim secara lebih komprehensif, diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mempertimbangkan interaksi antara agama dan faktor-faktor sosial lainnya. Studi empiris yang mendalam dan kontekstual tentang bagaimana komunitas-komunitas keagamaan merespons perubahan iklim dalam praktik sehari-hari mereka akan sangat berharga. Dengan demikian, Studi Agama dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam memahami dan mengatasi tantangan global yang kompleks seperti perubahan iklim.
Referensi
Haluza-Delay, R. (2014). Religion and climate change: varieties in viewpoints and practices. Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 5. https://doi.org/10.1002/wcc.268.
Print Version